PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk masih menunggu izin dari pihak otoritas untuk kembali menerbangkan pesawat Boeing 737 Max. Pesawat tersebut telah kembali mendapatkan izin mengudara dari Administrasi Penerbangan Federal AS (FAA) pada Rabu (18/11) lalu.
"Untuk bisa mengoperasikan kembali (Boeing 737 Max) tentu saja kami butuh aturan-aturan, persetujuan dari otoritas RI," ujar Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra dalam konferensi pers usai RUPSLB, Jumat (20/11).
Selain izin, ia menuturkan perseroan memiliki pertimbangan lain sebelum menerbangkan Boeing 737 Max. Ia menuturkan ada sejumlah persiapan yang harus dilakukan Garuda Indonesia, salah satunya melatih kembali para pilot.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Persiapan dari pesawat tersebut termasuk, re-training (melatih kembali) dari para pilot karena ini ada jangka waktu cukup lama, dimana pilot kami harus melalui proses sertifikat training dan sertifikasi lagi," katanya.
Selain itu, ia mengatakan masih banyak pesawat Garuda Indonesia yang terpaksa tidak terbang (grounded) karena penurunan permintaan akibat pandemi covid-19. Oleh sebab itu, perseroan akan menyusun skala prioritas terbang untuk semua armada pesawatnya.
Ia mengungkapkan, Garuda Indonesia hanya memiliki satu armada jenis Boeing 737 Max tersebut.
"Perlu diketahui, kami masih memiliki beberapa pesawat yang grounded, belum terbang, karena memang demand belum ada sampai untuk bisa terbangkan semua pesawat yang ada," tuturnya.
Seperti diketahui, Boeing 737 Max dilarang terbang sejak Maret 2019, usai dua kecelakaan fatal yang menewaskan 346 orang. Salah satunya, kecelakaan maut yang dialami maskapai Lion Air JT610 pada Oktober 2018, serta Ethiopian Airlines 302 pada Maret 2019.
Setelah menjalani berbagai pemeriksaan dan penyesuaian teknologi, Boeing 737 Max kembali mendapatkan izin mengudara. Pesawat kembali diizinkan terbang setelah memperbaiki fitur keselamatan yang sebelumnya menjadi penyebab kecelakaan tragis itu. Dalam proses pemeriksaan selama hampir 2 tahun ini, Boeing merugi sebesar US$20 miliar.