Boeing segera menerbangkan kembali seri 737 Max di Amerika Serikat, tapi perusahaan ini masih menghadapi sejumlah tantangan di pasar penerbangan China.
Administrasi Penerbangan Sipil China (CAAC) belum berbicara terkait izin 737 Max terbang di negara itu. Padahal, Administrasi Penerbangan Federal AS memberi lampu hijau bagi pesawat untuk mengangkut penumpang awal pekan ini.
Meski pemerintah AS merupakan rintangan penting yang harus diselesaikan Boeing, perusahaan perlu mengantongi persetujuan dari regulator penerbangan lain sebelum maskapai penerbangan dapat menerbangkan pesawat antara tujuan internasional.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain China, Badan Keamanan Penerbangan Uni Eropa mengatakan pihaknya memperkirakan baru akan mengambil keputusan pada akhir Desember atau awal 2021.
Bagi Boeing, persetujuan China sangat penting sebab negara tersebut yang pertama kali melakukan grounded 737 Max setelah dua pesawat jatuh dan merenggut ratusan nyawa tahun lalu.
CAAC bulan lalu mengatakan bahwa mereka memiliki kriteria sendiri yang harus dipenuhi Boeing (BA) sebelum China puas dengan pesawat itu lagi, termasuk jaminan bahwa perubahan pada desainnya "aman dan andal."
"Selama mereka memenuhi persyaratan, kami senang melihat mereka melanjutkan penerbangan. Tapi jika tidak, kami harus melakukan pemeriksaan ketat untuk memastikan keamanan," kata direktur CAAC Feng Zhenglin dalam konferensi pers di Beijing bulan lalu, dikutip dari CNN.
Di luar itu, persetujuan dari China bukan hanya tentang mengizinkan Boeing 737 Max kembali mengudara. Bisnis Boeing di negeri tirai bambu saat ini telah rusak parah oleh pertikaian bertahun-tahun antara Washington dan Beijing atas perdagangan, teknologi, dan hak kekayaan intelektual.
Sebelum perang dagang, China adalah pasar besar bagi Boeing. Pada 2015 dan 2016, penjualan di Cina masing-masing menyumbang 13 persen dan 11 persen dari total pendapatan perusahaan, menurut laporan tahunannya.
Pada 2015, China adalah pasar ekspor terbesar Boeing, dan terbesar ketiga pada 2016.
Sementara dua tahun terakhir, Boeing belum menjual satu pesawat penumpang pun ke China.
Richard Aboulafia, wakil presiden analisis di Teal Group Corporation, sebuah perusahaan konsultan ruang angkasa, mengatakan masalah perusahaan China jauh di luar kendali Boeing.
"Di China, Boeing adalah tawanan kekuatan di luar dinamika pasar penerbangan belaka. Tidak mungkin bagi Boeing untuk tidak terlibat dalam kekacauan raksasa ini, yang melibatkan hambatan perdagangan, sengketa [kekayaan intelektual], dan tarif," ujarnya.
Ketegangan AS-China juga berdampak dalam cara lain. Beijing mengatakan bulan lalu bahwa mereka akan menjatuhkan sanksi kepada perusahaan Amerika, termasuk Lockheed Martin (LMT) dan Boeing, yang telah terlibat dalam penjualan senjata ke Taiwan.
Meski demikian, Boeing tetap optimistis dengan pasar China. Pekan lalu, perusahaan mengeluarkan proyeksi positif dan mengatakan mereka mengharapkan dapat menjual 8.600 pesawat baru di China selama 20 tahun ke depan.
Nilai penjualan diperkirakan mencapai US$1,4 triliun, atau lebih tinggi daripada sebelum pandemi covid-19 karena pemulihan ekonomi China tahun ini telah melampaui seluruh dunia.
Peneliti di Hinrich Foundation dan rekan senior tamu di Universitas Nasional Singapura Alex Capri mengatakan Boeing tetap terdorong untuk mengembangkan jejaknya di pasar penerbangan sipil China hanya untuk alasan ekonomi dan strategis.
"Kegagalan melakukan hal ini akan membebani pendapatan [penelitian dan pengembangan] perusahaan dan peluang masa depan untuk berkolaborasi dengan mitra strategis," terangnya.