Wood Mackenzie menilai Indonesia perlu meningkatkan daya tarik fiskal (fiscal attractiveness) untuk menggairahkan investasi di industri hulu migas. Hal ini juga perlu dilakukan untuk mencapai target produksi 1 juta barel minyak per hari (BPOD) dan 12 miliar standar kaki kubik gas per hari (BSCFD) pada 2030.
Direktur Penelitian Asia Pasifik Wood Mackenzie Andrew Harwood mengatakan Indonesia perlu melakukan berbagai upaya agar industri hulu migas lebih kompetitif ke depannya.
"Pemberian insentif diharapkan tidak berhenti sampai di situ saja. Pasalnya, negara-negara lain terus melakukan pengembangan perbaikan iklim investasi," ucap Andrew dalam Forum Group Discussion (FGD) Ekonomi dan Keuangan 2020, seperti dikutip di Antara, Senin (23/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Andrew menyatakan nilai dari daya tarik fiskal Indonesia masih sangat rendah. Menurut dia, nilainya jauh di bawah Malaysia, tapi masih di atas Irak dan Brasil.
Meski di atas Irak dan Brasil, Andrew bilang daya tarik investasi kedua negara itu lebih menarik ketimbang Indonesia. Dalam hal ini, akumulasi prospek migas menjadi salah satu faktor yang ikut memengaruhi ketertarikan investor, selain soal fiskal.
"Pada 2010 Brasil menjadi tempat investasi favorit dan ini menarik bagi investor berskala besar. Begitu pula dengan Irak. Meski kebijakan fiskal yang berlaku tidak begitu baik, prospek migas di Irak terbilang bagus," terang Andrew.
Ia menuturkan investor saat ini tak hanya fokus pada upaya peningkatan produksi migas. Investor, kata Andrew, juga mulai melihat segi pendapatan yang bisa dihasilkan dari produksi migas.
Dengan situasi seperti ini, Andrew menganggap pemerintah harus memperhatikan beberapa poin selain produksi dalam menarik investasi di sektor hulu migas. Poin-poin yang dimaksud, antara lain pembagian jatah dengan kontraktor migas (split), daya tarik subsurface, serta penyediaan bagi hasil yang menarik untuk investor.
"Investor berpandangan kerugian di suatu blok bisa diimbangi dengan produksi dari blok lain. Hal ini yang tidak ada di Indonesia sehingga perusahaan sulit membuat basis di Indonesia," ujar Andrew.
Selanjutnya, Andrew menilai pemerintah harus memperhatikan regulasi lain untuk meningkatkan investasi di sektor hulu migas. Salah satunya adalah soal perizinan yang selama ini dianggap mempersulit investor dalam menjalankan usahanya di Indonesia.
Andrew berharap pemerintah Indonesia dapat memangkas proses perizinan di Indonesia. Dengan demikian, waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan izin berusaha di sektor hulu migas bisa lebih cepat.
Sementara, Andrew berpendapat target pemerintah terkait produksi 1 juta BOPD dan gas 12 BSCFD pada 2030 cukup menarik. Menurutnya, hal itu akan menarik investor meski dengan nilai investasi yang masih rendah.
Perusahaan kecil migas memiliki keterbatasan dana untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan melaksanakan enhanced oil recovery (EOR). Oleh karena itu, mereka butuh insentif fiskal dari pemerintah.
"Pemerintah dan regulator harus aktif untuk menciptakan keseimbangan antara risiko yang dihadapi investor dalam melakukan kegiatan usaha hulu migas dengan keuntungan yang akan mereka terima," jelas Andrew.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Indonesian Petroleum Association (IPA) Ronald Gunawan menambahkan pemerintah perlu memberikan sinyal positif kepada investor. Hal ini khususnya untuk menjaga kontrak tetap berjalan.
Ia bilang beberapa upaya yang bisa dilakukan pemerintah adalah merevisi peraturan yang kontradiktif dengan kontrak-kontrak PSC. Selain itu, pemerintah perlu melakukan reformasi regulasi untuk meningkatkan daya saing, seperti di Australia dan Mesir.
"Untuk Indonesia, prospek, kemudahan dalam berbisnis, dan fiscal attractiveness merupakan poin-poin yang diambil investor ketika memutuskan untuk menanamkan investasinya," pungkas Ronald.