Pro Kontra Beri Vaksin Corona Gratis ke Semua Warga

CNN Indonesia
Rabu, 09 Des 2020 08:51 WIB
Ekonom menilai pemerintah punya anggaran untuk memberikan vaksin gratis ke seluruh masyarakat. Namun, sejumlah hal perlu jadi pertimbangan.
Ekonom menilai pemerintah punya anggaran untuk memberikan vaksin gratis ke seluruh masyarakat. Namun, sejumlah hal perlu dipertimbangkan. Ilustrasi. (iStockphoto/Vladans).
Jakarta, CNN Indonesia --

Pemerintah bakal melakukan vaksinasi covid-19 lewat dua skema. Pertama, vaksin program di mana vaksin corona akan digratiskan untuk 30 persen warga. Kedua, vaksin mandiri yang akan dijual kepada 70 persen dari sisa target penerima vaksin.

Ekonom CORE Indonesia Mohammad Faisal melihat terjadi ketimpangan antara kedua skema. Menurut Faisal, pemerintah masih memiliki keleluasaan anggaran untuk memperluas jumlah penerima vaksin gratis.

Salah satu alternatifnya dengan menggunakan sisa anggaran Pemulihan Ekonomi Ekonomi (PEN) 2020 yang kemungkinan masih ada sisa.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pasalnya, realisasi anggaran baru mencapai 62,1 persen atau Rp431,54 triliun dari total anggaran sebesar Rp695,2 triliun. Realisasi tercatat per 25 November 2020.

"Semestinya dari anggaran PEN ini kan masih ada keleluasaan tapi untuk anggaran kesehatan justru kecil," katanya kepada CNNIndonesia.com, Selasa (8/12).

Faisal bilang meski penyerapan anggaran PEN 2020 relatif rendah, bukan lantas anggaran 2021 ditekan. Semestinya, anggaran khusus di sektor kesehatan diperlebar mengingat pemerintah ingin mengejar pemulihan ekonomi dari kontraksi pertumbuhan di tahun depan.

Pemulihan ekonomi, lanjut Faisal, tidak akan terjadi jika sektor kesehatan belum dibenahi. Dia menyebut kontraksi pertumbuhan yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh rendahnya kepercayaan masyarakat menengah dan atas untuk melakukan konsumsi.

Jika virus corona belum ditangani dan vaksinasi berjalan lambat maka dapat dipastikan pemulihan juga akan berjalan lambat.

Untuk diketahui, anggaran PEN 2021 turun dari Rp695,2 triliun menjadi Rp356,5 triliun. Sedangkan anggaran kesehatan dialokasikan sebesar Rp169,7 triliun baik untuk vaksinasi maupun kebutuhan lainnya.

Karenanya, ia mengusulkan pemerintah untuk memberikan subsidi untuk kelompok miskin demi menjamin pemerataan vaksinasi.

"Mestinya pada 2021 hal-hal yang justru penting seperti subsidi vaksin bisa didorong untuk masuk kepada strategi pemerintah untuk menanggulangi dampak covid-19 terutama dari sisi kesehatan," imbuhnya.

Ia menilai pemerintah harus melihat dua indikator utama untuk mengetahui berapa besar tambahan masyarakat yang berhak menerima vaksin gratis.

Pertama, tingkat atau jumlah masyarakat miskin menurut acuan data terakhir karena terjadi lonjakan angka kemiskinan akibat pandemi. Kedua, kemampuan pembiayaan pemerintah sendiri.

Dengan asumsi penduduk Indonesia pada 2020 sebanyak 268 juta dan membutuhkan dua kali vaksin per orang, jumlah vaksin yang dibutuhkan sebanyak 536 juta dosis.

Lalu, jika vaksin ditaksir dengan harga sebesar US$20 atau setara Rp282.640 (asumsi kurs Rp14.132 per dolar AS), pemerintah harus menyediakan anggarannya sebesar Rp151,48 triliun.

Anggaran itu fantastis jumlahnya dan belum menghitung kebutuhan lainnya seperti logistik, distribusi, dan biaya lain.

Oleh karena itu, Faisal menilai pemerintah tak perlu memberikan vaksinasi gratis kepada semua. Terlebih, masyarakat menengah atas tak perlu disubsidi.

Selain mampu, mereka juga cenderung ingin melakukan vaksinasi mandiri karena faktor kecepatan.

"Orang kaya tidak perlu disubsidi, berapa besarnya harus lihat jumlahnya sekarang dari indikatornya. Salah satunya jumlah orang miskin dan anggaran itu sendiri," katanya.

Faisal juga mengingatkan pemerintah terkait mekanisme harga di lapangan. Bercermin dari selangitnya harga alat kesehatan di awal pandemi, hal serupa juga mungkin terjadi pada harga vaksin jika tidak memiliki pendistribusian dan target yang matang.

Menurut dia, harga di lapangan bisa saja berbeda dengan harga yang ditetapkan. Karena kebutuhan tinggi sementara vaksin terbatas, mekanisme harga bisa jadi berubah.

Belum lagi timpangnya rasio kebutuhan antar daerah. Di pelosok harga vaksin bisa jauh lebih mahal karena biaya logistik yang tinggi.

Selain itu, ia juga menyoroti soal kecekatan distribusi. Dia berharap ketangkasan pemerintah daerah bisa sama dengan pemerintah pusat. Rendahnya urgensi di level daerah dikhawatirkannya menjadi faktor penghambat distribusi vaksin.

Sementara, Ekonom Perbanas Institute Piter Abdullah menilai skema rasio 30-70 yang ditawarkan pemerintah tepat. Pasalnya, dengan memberikan mayoritas kewenangan vaksin secara komersil atau berbayar, penyuntikan akan jauh lebih cepat dibandingkan lewat skema gratis.

Dia yakin masyarakat yang mampu tak keberatan membayar kebutuhan vaksinnya sendiri asal tersedia.

Faktor lainnya yang membuatnya tak setuju seluruh biaya vaksin ditanggung pemerintah adalah potensi penyelewengan. Tak ayal, skema vaksin 100 persen ditanggung pemerintah menurutnya tak ideal. Selain berat di kantong, pemerintah juga tak lincah di lapangan.

Piter juga menilai jangan mengharapkan sisa anggaran PEN untuk menutupi biaya vaksin. Pasalnya, anggaran sebetulnya bukan anggaran yang tersedia melainkan anggaran yang diambil dari defisit anggaran atau utang negara.

[Gambas:Video CNN]

Artinya, jika dana PEN tak digunakan, berarti defisit anggaran tak melebar dan utang negara tak kian membengkak.

"Kalau semua melalui program pemerintah pasti akan sangat berat bagi pemerintah, biaya dan memakan waktu. Kalau semua program pemerintah, itu harus dipikirkan rawan penyelewengan, banyak negatifnya," tandasnya.

(wel/sfr)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER