Sejumlah ekonom menilai pemerintah tetap tidak boleh lengah mengawal penyaluran bantuan sosial tunai (BST) untuk masyarakat terdampak covid-19 di Jabodetabek tahun depan. Skema BST tersebut merupakan pengganti dari bansos sembako kepada warga Jabodetabek tahun ini.
Direktur Riset Center of Reform on Economic (Core) Piter Abdullah mengatakan bantuan tunai tidak sepenuhnya bisa menghilangkan moral hazard dalam bentuk korupsi. Karenanya, pengawasan pemerintah masih tetap dibutuhkan.
"Meskipun BST bukan berarti aman dari penyalahgunaan. Pemerintah hendaknya mengembangkan sistem berbasis teknologi informasi agar penyaluran bantuan ini bisa tepat sasaran dan tidak disalahgunakan," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Selasa (15/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, ia menilai jika bantuan tunai lebih baik dibandingkan bantuan non tunai seperti sembako. Alasannya, bantuan tunai akan mendorong perputaran ekonomi di masyarakat.
"Transaksi tidak dikuasai hanya satu kelompok elite saja. Tapi, terjadi secara lebih luas di masyarakat bawah, melibatkan banyak UMKM," jelasnya.
Selain itu, bantuan tunai dinilai lebih sesuai dengan kebutuhan penerima bantuan. Pasalnya, masyarakat belum tentu memerlukan sembako seperti yang disalurkan selama ini.
"Kalau diberi sembako cenderung tidak bermanfaat. Sementara, kalau diberi uang tunai masyarakat bisa menggunakan uangnya untuk kebutuhan yang lebih mendesak," jelasnya.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menambahkan distribusi BST memiliki kelemahan yakni membutuhkan biaya transfer. Utamanya, jika rekening penerima bantuan adalah bank swasta. Oleh sebab itu, ia menyarankan agar pemerintah memaksimalkan peran bank BUMN guna menekan biaya transfer.
"Kalau menggandeng bank swasta tentu ada fee tambahan administrasi. Jadi, ini pelajaran penting dari transfer subsidi gaji kemarin, karena banyak yang menggunakan bank swasta ada fee-nya," ucapnya.
Namun, sepakat dengan Piter, Bhima juga memandang jika BST lebih baik ketimbang pemberian sembako. Pemerintah bisa mengawasi dengan mudah aliran dana BST lantaran semua data terekam di perbankan.
"Bantuan sosial berbentuk transfer tunai dari sisi pengawasan relatif mudah. Semua transaksi terekam di data perbankan, jadi jumlah yang ditransfer bisa sampai ke penerima tanpa berkurang nilainya," jelasnya.
Kondisi ini berbeda dengan pemberian sembako yang rawan terjadi poles (mark up) nilai. Misalnya, beras seharga Rp8.000 per kilogram (kg), namun saat pengadaan barang ditulis Rp10 ribu per kg.
Belum lagi, peluang besar terjadinya permainan atau kongkalikong antara pejabat dengan pihak ketiga yang bertugas menyediakan produk sembako. Karenanya, Bhima menyebut jika negara lain sudah mulai meninggalkan bansos sembako, dan mengarah pada transfer tunai seperti di AS dan Finlandia.
"Kasus Menteri Sosial jadi pelajaran penting, bahwa bantuan berbentuk barang sangat rawan dikorupsi," tuturnya.
Sebelumnya, Pelaksana tugas (Plt) Menteri Sosial (Mensos) Muhadjir Effendy mengatakan pemerintah akan mengubah skema penyaluran bansos Jabodetabek tahun depan. Rencananya, penyaluran bansos kepada masyarakat yang terdampak pandemi covid-19 di Jabodetabek berupa BST.
"Bansos Jabodetabek skema yang kami gunakan ialah BST, tapi teknisnya masih harus berkoordinasi dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta," kata Muhadjir.
Sementara itu, untuk bansos di luar Jabodetabek masih menggunakan skema awal, yakni bansos reguler dan jaring pengaman sosial covid-19. Meliputi, program kartu sembako atau bantuan pangan non tunai (BPNT) kepada 18,8 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM).
Selanjutnya untuk program keluarga harapan (PKH) bagi 10 juta KPM, serta BST khusus penanganan covid-19 untuk 10 juta KPM. Tidak hanya itu, pemerintah juga akan menambah bantuan yang bersumber dari dana desa atau BLT Desa sekitar 7,8 juta KPM.