ANALISIS

Menakar Potensi Susut Ekonomi Akibat Wajib Rapid Test Antigen

Yuli Yanna Fauzie | CNN Indonesia
Selasa, 22 Des 2020 07:37 WIB
Kebijakan pemerintah mewajibkan masyarakat melakukan rapid test antigen sebelum berpergian berpotensi menghilangkan geliat ekonomi saat natal dan tahun baru.
Kebijakan pemerintah mewajibkan masyarakat yang ingin berpergian melakukan rapid test antigen berpotensi menekan ekonomi daerah saat natal dan tahun baru. Ilustrasi. (Ilustrasi. (ANTARA FOTO/FAUZAN).
Jakarta, CNN Indonesia --

Pemerintah mewajibkan masyarakat melakukan rapid test antigen sebelum berpergian menggunakan moda transportasi apapun pada libur dan cuti bersama Natal 2020 dan Tahun Baru 2021 (Nataru). Pemeriksaan harus dilakukan setidaknya H-2 sebelum keberangkatan.

Ini diberlakukan demi menekan penyebarluasan virus corona atau covid-19 yang kian meningkat belakangan ini. Sebab, kasus baru covid-19 mudah bertambah dan mencetak rekor bila ada libur panjang seperti momen Nataru nanti.

Hal itu kemudian dijalankan PT Kereta Api Indonesia (Persero) alias KAI dengan kebijakan wajib rapid test antigen bagi penumpang perjalanan kereta jarak jauh. Kewajiban itu setidaknya berlaku untuk periode 22 Desember 2020 hingga 8 Januari 2021.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Keputusan ini mengacu pada Surat Edaran (SE) Kementerian Perhubungan Nomor 23 Tahun 2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perjalanan Orang Dengan Transportasi Perkeretaapian Selama Masa Natal Tahun 2020 dan Tahun Baru 2021 dalam Masa Pandemi Covid-19.

Kendati begitu, perusahaan pelat merah itu memberi kompensasi. Harga rapid test antigen yang dibanderol maksimal Rp250 ribu per tes untuk Pulau Jawa dan Rp275 ribu di luar Pulau Jawa 'dikorting' menjadi Rp105 ribu per tes saja.

Selain itu, KAI juga menyediakan fasilitas rapid test antigen di sejumlah stasiun untuk memudahkan penumpang. Ketentuan masa tes pun dilonggarkan menjadi setidaknya H-1 keberangkatan.

"Masyarakat yang ingin menggunakan layanan rapid test antigen di stasiun, diimbau untuk melakukannya H-1 perjalanan untuk menghindari keterlambatan jika dilakukan di hari keberangkatan," ungkap EVP Corporate Secretary KAI Dadan Rudiansyah, kemarin.

[Gambas:Video CNN]

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Na Endi Jaweng memperkirakan kebijakan ini otomatis akan menghilangkan potensi geliat ekonomi akhir tahun yang biasa didapat daerah dari momen Nataru, khususnya bagi sektor pariwisata, hotel, restoran, hingga UMKM seperti pengerajin cenderamata dan lainnya.

"Tapi seberapa besar potensi (kehilangan) masih sulit dihitung saat ini karena pandemi ini serba tidak pasti, termasuk untuk menghitungnya," ungkap Robert kepada CNNIndonesia.com.

Ia hanya menyebut pendapatan sektor pariwisata, hotel, restoran, dan lainnya yang berhubungan dengan libur akhir tahun biasanya mencapai 30 persen dari total pendapatan mereka setahun saat momen Nataru tiba. Khususnya di daerah wisata, seperti beberapa kota di Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, hingga Bali.

Artinya, bila mobilitas dan aktivitas masyarakat terhalang kewajiban rapid test antigen nanti pada momen Nataru, maka praktis ada potensi berkurangnya pendapatan para sektor terkait sebanyak 30 persen dari total pendapatan mereka.

"Jadi angka 30 persen ini bertumpu pada libur akhir tahun yang sebenarnya 30 persen ini bisa menggerakkan ekonomi daerah juga, tapi karena berkurang kemungkinan jumlah mobilitas masyarakat jadi bisa mengurangi pertumbuhan ekonomi daerah juga," terangnya.

Tentu secara hitung-hitungan ekonomi, hal ini akan merugikan daerah. Sebab, potensi ekonomi yang semula bisa didapat justru akan menguap.

Begitu juga bagi sektor industri terkait libur akhir tahun karena pendapatan mereka juga berpotensi tak masuk kantong karena ketatnya kebijakan pemerintah.

"Apalagi khusus pada 2020 ini, momentum libur yang bisa diharapkan menggerakkan ekonomi hanya terjadi sekarang ini. Soalnya 8-9 bulan yang lalu masyarakat masih terus berada di rumah, dilarang berpergian," tuturnya.

Namun dilemanya, kata Robert, bila kebijakan tidak diketatkan dan mobilitas masyarakat dibiarkan semudah itu pada libur akhir tahun, tentu akan ada ancaman kasus covid-19 naik. Kenaikannya pun bisa lebih tinggi dari hari-hari biasa.

Sayangnya, ia belum bisa memperkirakan bila kebijakan tidak diketatkan berapa keuntungan ekonomi sementara dan kerugian ekonomi jangka menengah dari kemungkinan pertambahan kasus tersebut.

"Karena ini trade off-nya terlalu tinggi, bahkan dibandingkan dengan bencana pun, ini lebih sulit dihitung. Efek pandemi ini sangat volatile, cair, dan menantang karena harus seimbangkan kesehatan dan ekonomi," jelasnya.

Robert pun menilai kebijakan pengetatan memang mau tidak mau tetap harus dijalankan. Pasalnya, ia melihat ada pula ketidaksiapan pemerintah di daerah untuk memastikan pelaksanaan protokol kesehatan dan memitigasi risiko ketika kasus terlanjur bertambah.

Senada, Ekonom CORE Piter Abdullah Redjalam menilai kebijakan ini memang mau tidak mau harus diambil pemerintah karena perhitungan keuntungan ekonomi jangka panjang lebih besar ketimbang jangka pendek bila membebaskan masyarakat berlibur pada akhir tahun.

Lagipula menurutnya, kewajiban rapid test antigen sejatinya bukan untuk menghambat perekonomian, tapi mencegah penyebaran kasus baru. Jadi, tujuan utamanya adalah menghindari ledakan kasus seperti yang pernah terjadi akibat libur dan cuti bersama beberapa waktu lalu.

"Selama pandemi masih menjangkit, perekonomian tidak akan bisa tumbuh positif. Bila kita mendahulukan ekonomi dan mengabaikan pandemi, maka yang terjadi ledakan kasus covid-19 yang kemudian berujung kepada pengetatan PSBB dan dampak ekonominya justru sangat negatif," jelas Piter.

Piter juga menilai wajar kebijakan ini karena beberapa negara pun bahkan sampai mengambil kebijakan penguncian wilayah alias lockdown lagi karena gelombang kedua penyebaran virus. Indonesia pun, menurutnya, meski tidak terjadi gelombang kedua, tetap harus waspada dengan kebijakan ketat.

"Jadi seharusnya yang kita khawatirkan bukan ekonomi, melainkan pandemi. Perekonomian sudah loss karena pandemi, peningkatan protokol kesehatan tidak meningkatkan loss tersebut, justru jangka panjang bisa mempercepat penanggulangan pandemi sekaligus mempersiapkan pemulihan ekonomi," tandasnya.

(agt)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER