Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menilai Pondok Pesantren Markaz Syariah Agrokultural milik Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab harus mengembalikan tanah di Mega Mendung, Bogor, Jawa Barat yang tengah menjadi sengketa ke PT Perkebunan Nusantara VIII (PTPN). Sebab, tanah itu bukan milik Markaz Syariah melainkan PTPN.
Hal ini disampaikan oleh Juru Bicara Teuku Taufiqulhadi menanggapi kabar sengketa kedua pihak atas tanah di Mega Mendung tersebut. Menurutnya, hak kelola harus dikembalikan karena tanah milik PTPN dengan status Hak Guna Usaha (HGU).
"Karena itu bukan tanahnya, maka kembalikan saja ke PTPN VIII, karena tanah PTPN VIII," ucap Taufiqulhadi kepada CNNIndonesia.com, Senin (28/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih lanjut, ia juga membantah bila ada klaim yang beredar di masyarakat bahwa tanah itu sudah dimiliki Markaz Syariah karena merupakan hasil pembelian atau oper tanah dari petani setempat. Menurutnya, hal ini tidak benar karena status yang jelas adalah HGU kepada PTPN VIII.
"Statusnya itu tanah PTPN (BUMN). Tidak ada pihak boleh menjual dan mengambil over tanah itu tanah seizin Menteri BUMN atau PTPN," tekannya.
Sebelumnya, PTPN melayangkan somasi terhadap Ponpes Markaz Syariah dengan nomor SB/11/6131/XII/2020 tertanggal 18 Desember 2020. PTPN turut meminta Markaz Syariah untuk menyerahkan lahan paling lambat tujuh hari kerja sejak diterima surat tersebut.
"Tindakan saudara tersebut merupakan tindak pidana penggelapan hak atas barang tak bergerak, larangan pemakaian tanpa izin yang berhak atau kuasanya dan atau pemindahan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 385 KUHP, Perpu Nomor 51 Tahun 1960 dan pasal 480 KUHP," tulis isi surat tersebut.
Sementara tim advokasi Markaz Syariah menilai somasi yang dilontarkan PTPN VIII adalah tidak tepat sasaran. Pernyataan ini didapat redaksi dari Sekretaris Umum Front Pembela Islam (FPI) Munarman.
"Somasi Saudara adalah error in persona karena seharusnya Pihak PTPN VIII mengajukan complain baik pidana ataupun perdata kepada pihak yang menjual tanah tersebut kepada Pihak Pesantren atau HRS (Habib Rizieq Shihab), karena Pihak Pesantren dengan diketahui semua aparat dari mulai Kepala Desa hingga Gubernur membeli tanah tersebut dari pihak lain yang mengaku dan menerangkan tanah tersebut miliknya," terang tim advokasi.
Sedangkan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai kedua pihak sama-sama salah. Menurutnya, Markaz Syariah salah karena menguasai tanah yang bukan miliknya. Markaz Syariah juga mengklaim telah melakukan jual beli tanah dengan petani, padahal ini tidak terjadi.
"Ini harus dikelarkan problem agrarianya. Pesantren bisa dikenakan pidana juga karena menguasai tanah negara. Pesantren tidak diperkenankan menggunakan karena masih HGU dan masuk aset BUMN," ujar Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika.
Sementara PTPN juga salah karena tidak menggunakan tanah berstatus HGU sesuai fungsinya, yaitu untuk aktivitas pertanian, perkebunan, dan peternakan.
"PTPN menelantarkan tanahnya di tengah ketimpangan penguasaan tanah oleh negara, padahal banyak rakyat miskin dan petani kecil yang tidak bisa mendapat akses tanah karena terlalu banyak dikuasai negara. Hal ini kemudian menyebabkan munculkan pihak ketiga seperti kasus ini," tuturnya.
Lebih lanjut, Dewi menyatakan tanah ini tidak bisa lepas begitu saja tanpa persetujuan Menteri BUMN maupun PTPN VIII selaku penerima HGU. Tanah juga perlu bukti pelepasan aset dari BUMN yang bersangkutan.
(uli/agt)