Belum selesai permasalahan harga kedelai, kini masyarakat kembali dibuat bingung dengan kenaikan harga daging sapi eceran di pasar. Tercatat, harga daging sapi melonjak sejak sejak akhir tahun lalu hingga menembus Rp130 ribu per kilogram (kg).
Bukan hanya konsumen, lonjakan harga daging sapi ini juga mengusik pedagang daging sapi. Bahkan, Ketua Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Pedagang Daging Indonesia (APDI) Asnawi mengungkapkan rencana mogok jualan para pedagang daging sapi di sejumlah pasar di kawasan Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek) selama tiga hari, mulai Rabu (20/1) sampai Jumat (22/1) nanti.
"Ada kenaikan harga yang sangat tinggi, yang tidak sesuai logika akal sehat, yang sebenarnya sangat-sangat tidak mungkin untuk pedagang menaikkan harga sampai Rp130 ribu per kg di tengah kondisi ekonomi seperti ini," ucap Asnawi kepada CNNIndonesia.com, Selasa (19/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, kenaikan harga itu disebabkan lonjakan harga beli dari distributor sebesar sekitar Rp10 ribu sampai Rp12 ribu per kg. Saat ini, distributor daging tersebut menjual daging sapi kepada pedagang di kisaran harga Rp125 ribu sampai Rp127 ribu per kg dari sebelumnya Rp115 ribu per kg.
Di sisi lain, pedagang daging tidak berani mengerek harga lebih tinggi dari Rp130 ribu per kg lantaran daya beli masyarakat masih lesu di tengah pandemi.
Pasalnya, jika harga daging sapi dipatok lebih tinggi dari Rp130 ribu per kg, ia khawatir konsumen justru berkurang. Alhasil, pedagang daging sapi itu bertahan dengan untung tipis, dibandingkan harus ditinggalkan konsumennya.
Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori berpendapat pokok permasalahan kenaikan harga daging sapi terletak pada rantai distribusinya. Berdasarkan cerita yang disampaikan oleh Asnawi, ia meyakini jika pangkal permasalahan adalah distributor daging sapi.
Dalam hal ini, ia menduga distributor yang dimaksud Asnawi tersebut adalah blantik. Khudori menyamakan blantik ini dengan seorang broker atau makelar. Menariknya, orang yang berperan sebagai blantik tersebut cenderung mampu menentukan harga, atau price maker.
"Ada yang namanya blantik, kata lain dari broker. Jadi, sebetulnya tidak punya barang tapi punya kuasa yang besar karena menguasai jaringan yang terlibat dalam distribusi daging sapi," terangnya kepada CNNIndonesia.com.
Khudori menjelaskan sapi hidup baik lokal maupun impor dikirim ke Rumah Potong Hewan (RPH) sebelum dijual kepada konsumen. Khusus untuk sapi impor biasanya didatangkan dari negara asal dalam bentuk bakalan sapi, lalu dibesarkan di peternakan dalam negeri kurang lebih selama 3 bulan sampai 4 bulan oleh pengusaha penggemukan sapi impor alias feedloter.
Ketika sapi sampai pada tangan feedloter, menurutnya, tidak ada permasalahan berarti mengenai harga. Permasalahan muncul ketika sapi siap sembelih tersebut dibawa ke RPH. Ia menjelaskan biasanya para blantik tersebut menghadang feedloter tersebut untuk membeli daging sapi potongan dari tangan feedloter.
Kemudian, blantik inilah yang menjual daging sapi kepada pedagang eceran di pasar.
"Dia (blantik) inilah yang menentukan harga, misalnya ketika ambil dari peternak yang punya sapi tadi Rp80 ribu dalam bentuk daging, dia bisa menaikkan sepihak 10 persen-15 persen dari harga yang dia beli. Di situlah pedagang seperti Pak Asnawi tidak bisa apa-apa karena daging yang punya dia (blantik), kalau pedagang mau terus bisa jualan harus beli dari belantik itu," jelasnya.
Oleh sebab itu, solusi dari melambungnya harga daging sapi ini adalah membenahi rantai distribusi tersebut. Pasalnya, selama ini feedloter tidak menjual langsung kepada pedagang sapi eceran di pasar melainkan melalui tangan blantik.
Khudori menuturkan mantan Menteri Pertanian Amran Sulaiman pernah berupaya menertibkan para blantik ini, namun gagal. Karenanya, ia menilai Kementerian Pertanian hendaknya melanjutkan kembali program penertiban blantik tersebut, serta mengevaluasi kegagalan sebelumnya.
Toh, para blantik tersebut biasanya ditemukan di RPH yang notabene adalah milik pemerintah. Jika tidak, permasalahan harga daging sapi ini bisa menahun, seperti yang terjadi selama ini.
"Solusinya, benahi di rantai pasok karena ini RPH milik negara bayangan saya mestinya pemerintah tidak terlalu sulit untuk bersihkan pihak-pihak yang mengambil keuntungan apalagi dari sisi jasa dia bukan pemberi porsi terbesar dari seluruh rantai pasok," terangnya.
Khudori sendiri kurang sepakat jika kenaikan harga daging sapi dipicu minimnya pasokan sapi impor dari Australia, yang merupakan importir utama sapi bakalan dan daging sapi beku Indonesia. Alasannya, berdasarkan informasi dari Asosiasi Pengusaha Importir Daging Indonesia (Aspidi) tidak terdapat masalah mengenai impor daging sapi beku.
Meskipun di lain pihak, secara global, harga daging sapi memang tengah menanjak. Namun, menurut dia, tambahan harga daging sapi global itu tidak signifikan sehingga seharusnya tidak menerbangkan harga daging sapi dalam negeri mencapai Rp130 ribu per kg.
"Kalau daging beku tidak ada masalah, sepertinya kalau daging beku tidak ada masalah mestinya impor dalam bentuk bakalan mestinya tidak ada masalah juga," ujarnya.