Berbeda dengan Khudori, Pengamat Ekonomi Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi menilai penyebab melambungnya harga daging sapi adalah permasalahan permintaan (demand) dan penawaran (supply). Ia menuturkan terjadi kelangkaan pasokan sapi di Australia.
Kondisi ini, lanjutnya, bermula di 2018-2019 lalu ketika terjadi bencana banjir di Australia yang membuat sekitar 600 ribu sampai 1 juta ekor sapi hilang dan mati. Oleh sebab itu, sebetulnya periode 2019-2020 merupakan masa pembaruan stok sapi di Australia.
"Mereka terjadi kelangkaan. Pandemi covid-19 kemudian memperburuk segala sesuatunya, selama pandemi terjadi pembatasan sehingga aktivitas pembiakkan menjadi terbatas," jelasnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Minimnya pasokan sapi dari Australia berdampak pada Indonesia. Pasalnya, Australia merupakan pemasok utama sapi bakalan dan daging sapi beku ke dalam negeri.
Pasokan sapi Australia yang terbatas itu juga harus dikirim ke China dan Vietnam, ditambah lagi kebutuhan peternak lokal Australia. Karenanya, terjadi perebutan stok sapi dari Australia sehingga mengerek harganya.
Di lain pihak, Fithra menilai permintaan terhadap daging sapi mulai tumbuh setelah sempat terburuk akibat pembatasan karena pandemi covid-19.
"Tapi kenaikan permintaan ini tidak diikuti kecepatan kenaikan populasi sapi di Australia. Mereka sekarang mengalami re-populasi sapi, dan ketika melakukan re-populasi ini terjadi perebutan antara petani lokal di Australia, belum lagi impor ke China dan Vietnam yang meningkat," imbuhnya.
Keadaaan itu diperburuk dengan permasalahan logistik. Seperti diketahui, terjadi kelangkaan kontainer karena pandemi covid-19 sehingga ongkos logistik pun bertambah.
"Ini sebetulnya berimbas juga kalau kita lihat ongkos per kontainer naik signifikan, pada akhirnya terefleksi pada bakalan sapi ketika diimpor sudah Rp50 ribu hingga Rp60 ribu per kg, sehingga di pasar mencapai Rp130 ribu," jelasnya.
Oleh sebab itu, Fithra menyarankan agar pemerintah mempersiapkan solusi jangka panjang sehingga kejadian ini tidak berulang yakni diversifikasi sumber impor daging sapi agar Indonesia tidak bergantung kepada Australia. Selain Australia, negara potensial sebagai importir sapi untuk Indonesia adalah Meksiko dan Brasil.
Wakil Ketua Umum DPP Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) Sarman Simanjorang mengamini jika lonjakan harga daging sapi dipicu oleh permasalahan demand dan supply. Oleh sebab itu, ia meminta pemerintah memastikan data ketersediaan sapi di dalam negeri baik produksi lokal maupun impor dibandingkan dengan data konsumsi masyarakat.
Lihat juga:Harga Pangan Kompak Turun, Tapi Tipis |
Ia memperkirakan kebutuhan konsumsi daging sapi masyarakat sebesar 2,6 kg per kapita per tahun. Artinya, secara nasional kebutuhan daging sapi untuk memenuhi konsumsi masyarakat berkisar 600 ribu-700 ribu ton per tahun.
Jika dirasa masih kurang, maka Kementerian Pertanian harus segera memberikan rekomendasi impor kepada Kementerian Perdagangan.
"Jangan sampai data di atas kertas dan di lapangan berbeda, karena ini menyangkut kebutuhan masyarakat dan dunia usaha," jelasnya.
Menurut Sarman, dampak kenaikan daging sapi paling menekan sektor UMKM yang memiliki usaha makanan berbahan dasar daging sapi. Ketika harga melonjak, secara otomatis keuntungan mereka pun berkurang lantaran di lain pihak tidak bisa mengerek harga di tengah lesunya daya beli masyarakat.
"Gejolak harga daging saat ini menjadi momentum bagi pemerintah untuk mempersiapkan ketersediaan daging pada lebaran 2021 karena April sudah puasa dan lebaran pada Mei, sementara sekarang sudah mendekati akhir Januari, praktis hanya sisa sekitar 3 bulan, ini harus dihitung dengan matang," tuturnya.