ANALISIS

Laba Rp14 T Pertamina, Buah Harga BBM Tak Turun dan Efisiensi

Ulfa Arieza | CNN Indonesia
Rabu, 10 Feb 2021 07:25 WIB
Pengamat energi menyebut keberhasilan Pertamina meraup laba Rp14 triliun di tengah tekanan corona dicapai akibat beberapa faktor. Berikut ulasannya.
Komut Pertamina Ahok mencurigai kontrak impor LNG dari Mozambik. Ilustrasi. (Dok. PGN).

Kabar baik perolehan laba tersebut berhembus di tengah informasi miring yakni kontrak janggal Pertamina versi Komisaris Utama Pertamina Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Ia mencium 'kejanggalan' dari kontrak impor gas alam cair (LNG) yang diteken Pertamina dengan perusahaan asal Republik Mozambik pada 2019 silam.

Namun, Ahok enggan menjelaskan letak kejanggalan kontrak tersebut. Kejanggalan yang disampaikan oleh Ahok tersebut pun dijawab oleh Nicke.

Di hadapan Komisi VII DPR, Nicke menjelaskan Pertamina telah menandatangani adendum perjanjian jual beli (SPA) dengan Anadarko Petroleum Corporation pada 2019 lalu. Secara garis besar, kontrak meliputi pembelian 1 juta ton LNG per tahun, atau setara 17 kargo selama 20 tahun yang baru mulai dikirim 2025 mendatang. Alasannya, pada periode tersebut Indonesia diperkirakan mengalami defisit gas.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun, Nicke menjelaskan Pertamina berencana berencana mengkaji ulang negosiasi kontrak impor LNG dari Mozambik tersebut. Sebab, saat dibuat Pertamina menggunakan perhitungan neraca gas 2018 untuk acuan besaran pesanan LNG. Sementara itu, Nicke menuturkan neraca gas saat ini berbeda dengan 2018 lalu, sehingga Pertamina akan melakukan perhitungan ulang.

Fabby mengaku mendukung rencana Nicke melakukan renegosiasi kontrak LNG dengan Anadarko itu. Pertimbangannya, konsumsi gas dalam berubah usai pandemi covid-19, karena sejumlah proyek batal atau mundur, serta konsumsi gas sektor industri berkurang.

Belum lagi, ada sejumlah blok yang akan beroperasi pada 2025 mendatang. Dalam hal ini, Pertamina juga berperan menjadi off taker (pembeli) gas bumi tersebut.

Dengan pertimbangan tersebut, maka Fabby menilai wajar apabila Pertamina melakukan kalkulasi ulang. Sebab, bisa saja terjadi penurunan kebutuhan volume impor LNG dari perkiraan semula yakni 1 juta ton LNG per tahun.

"Menurut saya ini langkah tepat negosiasi ulang supaya Pertamina tidak dirugikan," ucapnya.

Terkait dengan kontrak dengan Anadarko, Fabby mengaku belum mengetahui isi SPA dua belah pihak. Namun, ia menyatakan biasanya dalam kontrak pembelian terdapat klausul kondisi kahar atau force majeure yang memungkinkan negosiasi ulang kontrak.

Toh, dalam hal ini Pertamina tidak membatalkan kontrak namun melakukan perhitungan dan negosiasi ulang. Saat rapat dengan Komisi VII, Nicke juga menegaskan tidak ada gugatan yang berujung ganti rugi dari Anadarko.

"Sekarang dengan Mozambik apakah sudah ada gugatan internasional belum? Sepertinya belum. Mereka baru bilang protes karena rencana Pertamina untuk batalkan, tapi kan kami tidak pernah dengar statement dari Pertamina mereka akan batalkan pembelian gas tersebut, tapi negosiasi ulang," jelasnya.

ahok

Dengan demikian, ia menilai kejadian tersebut tidak akan mengganggu keuangan Pertamina. Potensi kerugian terjadi apabila kontrak tersebut tidak dapat diubah.

Pasalnya, itu membuat Pertamina harus mengimpor 1 juta ton LNG per tahun. Padahal pada saat bersamaan, konsumsi dalam negerinya turun, sehingga Pertamina tidak bisa menjual LNG impor tersebut.

Namun, Fabby menggarisbawahi impor tersebut masih dilakukan pada 2025 mendatang. Pertamina masih memiliki waktu untuk negosiasi ulang kontrak tersebut.

"Kalau volume impor tidak bisa diubah, Pertamina harus beli sementara dia tidak bisa jual, ya rugi. Sebab, kalau LNG tidak bisa disimpan lama-lama, harus persiapkan terminal regasifikasi, artinya butuh investasi dan tidak bisa disimpan lama-lama," katanya.

Sepakat, Mamit menilai masih ada fleksibilitas amandemen kontrak antara Pertamina dengan Anadarko tersebut. Dengan demikian, ia memperkirakan permasalahan ini tidak mengganggu kinerja Pertamina.

Mamit sendiri mendukung rencana Pertamina melakukan perhitungan ulang kebutuhan impor LNG menyesuaikan konsumsi saat ini. Namun, ia menilai kejadian ini menjadi pelajaran penting bagi Pertamina dalam melakukan kontrak impor ke depannya harus melalui prediksi kebutuhan yang tepat.

"Secara garis besar tidak (mempengaruhi kinerja Pertamina), karena saya yakin ini masih cukup panjang masih 2025 mendatang, walaupun sudah ada persiapan, sehingga kinerja Pertamina tidak akan terganggu dengan perjanjian tersebut," katanya.

(agt)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER