Buruh soal Izin Potong Upah saat Pandemi: Ngeri Kali
Ketua Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos menganggap aturan baru Kementerian Ketenagakerjaan terkait penyesuaian upah buruh di industri padat karya akan merugikan pekerja. Pasalnya, hal ini membuka ruang bagi perusahaan memotong gaji buruh di masa pandemi covid-19.
Kebijakan baru tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Pengupahan pada Industri Padat Karya Tertentu dalam Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
"Ngeri kali permen-nya. Saya melihat rezim sekarang banyak kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan tanpa melihat kondisi apalagi pandangan dari berbagai macam pemangku kepentingan," ucap Nining kepada CNNIndonesia.com, Rabu (17/2).
Seharusnya, sambung Nining, Kementerian Ketenagakerjaan meminta masukan serikat pekerja terlebih dahulu. Ia merasa tak dihubungi sama sekali oleh Kementerian Ketenagakerjaan.
Ia merasa pemerintah kini lebih memihak pengusaha ketimbang buruh. Aturan baru ini berpotensi membuat semakin banyak perusahaan yang memangkas upah buruh, sehingga upah akan semakin rendah.
"Ini seperti upah minimum nanti diturunin lagi karena aturan ini," imbuh Nining.
Jika upah buruh semakin kecil, maka otomatis kualitas hidup mereka juga semakin rendah. Nining menyebut daya beli buruh akan semakin tipis. Ujung-ujungnya, kebijakan itu akan merugikan perekonomian.
"Kalau upah jauh dari layak, ini pikir, ini justru semakin menurunkan kualitas hidup orang. Mereka harus kontrak rumah, bayar cicilan rumah, biaya transportasi, kredit motor," jelas Nining.
Saat ini saja, katanya, sudah ada sekitar 25 ribu-30 ribu buruh yang merupakan anggota KASBI mengalami pemotongan gaji. Beberapa ada yang hanya mendapatkan upah 20 persen dan 60 persen dari yang seharusnya.
"Ini yang seharusnya menjadi perhatian, apa iya sekian puluh industri tidak punya keuntungan, sehingga situasinya harus seperti ini," ucap Nining.
Sementara, Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar mempertanyakan urgensi dari penerbitan aturan baru ini. Sebab, ia memandang aturan pemotongan upah sudah diatur di Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.
"Kementerian Ketenagakerjaan itu saya melihatnya urgensinya apa sih, tanpa aturan baru itu sudah ada juga pengusaha yang memotong gaji, sudah ada aturannya, jadi sekarang urgensinya apa," kata Timboel.
Ia mengaku tidak mempersoalkan jika ada perusahaan yang memotong gaji karyawan. Timboel sadar kondisi pandemi telah meruntuhkan seluruh pihak, tanpa terkecuali pengusaha.
Namun, ia meminta agar Kementerian Ketenagakerjaan ikut mengawasi pelaksanaan aturan baru ini. Jangan sampai, kata dia, ada pengusaha yang memanfaatkan aturan ini untuk memotong gaji karyawan padahal tak terdampak pandemi.
Selain itu, pemerintah juga harus menolong buruh yang gajinya dipotong oleh perusahaan. Salah satunya bisa dengan bantuan subsidi upah atau bantuan langsung tunai (BLT) pekerja.
Lihat juga:Jerit Korban TikTok Cash, Jutaan Rupiah Raib |
"Kasih BSU, jadi gaji mereka dipotong tapi dibantu dengan BSU sehingga gaji seperti utuh kembali," terang Timboel.
Hanya saja, ia menyarankan calon penerima BSU jangan hanya yang terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan. Menurutnya, Kementerian Ketenagakerjaan bisa mencari data sendiri melalui kerja sama dengan perusahaan-perusahaan.
"Mudah, identifikasi perusahaan yang lakukan pemotongan gaji. Jangan yang tidak dipotong gajinya dapat bantuan, tapi yang dipotong gajinya biar dikonsumsi," jelas Timboel.
Sebagai informasi, dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2021, pengusaha industri padat karya yang terdampak pandemi bisa melakukan penyesuaian upah buruh.
Jenis industri yang dapat melakukan itu, antara lain industri makanan, minuman, dan tembakau, industri tekstil dan pakaian jadi, industri kulit dan barang kulit, industri alas kaki, industri mainan anak, serta industri furnitur.
Namun, penyesuaian upah harus disepakati bersama-sama antara perusahaan dan buruh. Kesepakatan itu bisa dilakukan dengan cara musyawarah yang dilandasi kekeluargaan, transparansi, dan itikad baik.
Kesepakatan yang dibuat minimal harus memuat besaran upah, cara pembayaran upah, dan jangka waktu berlakunya kesepakatan paling lama 31 Desember 2021. Kesepakatan itu harus disampaikan pengusaha kepada buruh.