Presiden Jokowi pernah memecat petinggi PT Pertamina (Persero). Kabar pemecatan disampaikan oleh Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Panjaitan.
Luhut tak menyebut secara pasti siapa petinggi yang dipecat Jokowi tersebut. Ia hanya mengatakan pemecatan dilakukan Jokowi karena ia merasa jengkel pejabat tersebut masih gemar memakai barang impor dan tidak mau meningkatkan pemakaian komponen dalam negeri (TKDN) dalam proyek perusahaan.
Salah satunya, pipa impor. Padahal kata Luhut, pipa sebenarnya bisa diproduksi dalam negeri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pertamina ngawurnya minta ampun. Masih impor pipa padahal sudah bisa dibuat di Indonesia," ucapnya saat berbicara dalam Rapat Kerja Nasional Penguatan Ekonomi Inovasi Teknologi BPPT 2021, beberapa waktu lalu.
Peneliti dari Institut for Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan dalam situasi tekanan ekonomi seperti sekarang ini, BUMN memang diharapkan menjadi motor dengan memperbesar porsi konten barang lokalnya untuk mendorong pemulihan sektor usaha dalam negeri.
Ia tak menampik bahwa spesifikasi barang yang tinggi kerap bikin konten lokal kalah bersaing dengan impor. Namun, menurutnya, hal tersebut dapat dicari solusinya dengan pendampingan ke perusahaan-perusahaan dalam rantai suplai industri terkait, bukan langsung ke barang impor.
"Harga pun faktanya tidak selalu murah. Apakah barang impor dari AS dan Eropa murah? Tidak juga dibanding produk lokal. Ini kan masalah yang dari dulu seakan produk lokal kalah bersaing. Padahal kesempatan banyak tertutup dengan alasan standarisasi internasional, spesifikasi dan lain-lain," ucapnya kepada CNNIndonesia.com.
Prioritas terhadap produk lokal juga penting untuk digencarkan sebab pipa besi dan baja seperti yang diimpor Pertamina atau perusahaan hulu migas lainnya bernilai fantastis dan dapat membebani neraca perdagangan. Berdasarkan data BPS, per nilai CIF, total impor pipa besi baja mencapai US$1,15 miliar di 2019.
"Memang fluktuatif, tapi sejak 2016 (impor pipa besi dan baja) naiknya 116 persen. Artinya ada kenaikan signifikan meskipun belum bisa dipastikan ini karena pipa yang dibeli Pertamina atau gabungan dengan perusahaan lain," imbuhnya.
Karena itu lah, lanjut Bhima, pemerintah tidak boleh menganggap remeh jika BUMN memprioritaskan impor. Kasus di Pertamina yang memicu kemarahan Jokowi harusnya dapat dijadikan pelajaran penting bagi ratusan BUMN dan anak usaha BUMN lainnya agar memastikan terlebih dahulu ada tidaknya substitusi impor dari produsen lokal dalam tiap pengadaan barang.
Namun, Kementerian BUMN juga harus mulai melakukan perubahan sistem pada perusahaan yang masih besar porsi impornya dalam tiap pengadaan barang.
Salah satunya dengan mengubah Key Performance Indicator atau KPI perusahaan pelat merah menjadi berorientasi pada produk lokal.
"Kalau di bawah KPI bisa saja direktur terkait diberi peringatan, sampai batas tertentu bisa diberhentikan. Yang penting ada target yang jelas," lanjut Bhima.
Jika hal tersebut tidak dilakukan, maka direksi BUMN tak akan menilai serius komitmen pemerintah untuk mendorong TKDN.
"Sebaiknya pemerintah juga fair ya beri reward and punishment. Buat BUMN yang konten lokalnya besar kasih dana tambahan lewat Penyertaan Modal Negara (PMN), sementara punishment-nya ya bisa sampai pecat direksi kalau tidak ada perbaikan," ujarnya.