Namun, masalah TKDN industri hulu migas tidak mudah. Ini mengingat besarnya investasi proyek-proyek sektor tersebut, terutama yang digarap Pertamina dan anak usahanya.
Sebagai contoh, proyek Pertamina dalam Program Strategis Nasional (PSN) seperti Kilangan Bontang, Kilang Tuban, Revinery Development Master Plan (RDMP), Blok Migas Masela, lapangan gas Jambaran-Tiung Biru, serta Indonesia Deepwater Development (IDD) yang punya nilai investasi mencapai sekitar Rp794,5 triliun.
Kepala Divisi Pengelolaan Barang dan Jasa SKK Migas Erwin Suryadi mengatakan di samping kebutuhan spesifikasi barang dan jasa yang tinggi, Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) juga mencari komponen lokal dengan harga murah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di masa pandemi covid-19, upaya tersebut makin sulit dilakukan. Pasalnya, banyak perusahaan lokal yang jadi bagian dari rantai pasok industri hulu migas terganggu.
Karena kesulitan itu, tahun lalu capaian TKDN hulu migas sendiri hanya di angka 56 persen dari total pengadaan barang dan jasa yang mencapai US$3 miliar atau sekitar Rp42,9 triliun (kurs Rp14.405 per US$).
Angka tersebut cukup jauh di bawah capaian 2019 yang mencapai 61 persen dengan total pengadaan US$5,2 miliar atau sekitar Rp74,4 triliun.
"Itu memang tidak terlalu sesuai target yang diharapkan, karena memang kebetulan awal dari covid-19 jadi agak kesulitan perusahaan melakukan adjusment," terangnya dalam diskusi virtual Membedah Peluang Bisnis 70 Triliun di Sektor Hulu Migas beberapa waktu lalu.
Mengingat belum banyaknya perubahan kondisi pandemi di tahun ini, SKK Migas juga memasang target yang relatif rendah yakni 57 persen.
"Mudah-mudahan kita bisa terus bekerja sama dan berkolaborasi. Kita membuka pintu sebesar-besarnya bagi para investor atau peminat yang mampu untuk masuk di hulu migas," tuturnya.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Rendy Yusuf Manilet mengatakan pemenuhan TKDN adalah masalah yang harus terus-menerus dievaluasi pemerintah.
Jika pengadaan barang dan jasa proyek-proyek tersebut berasal dari impor, sudah pasti neraca perdagangan Indonesia akan langsung tekor dan defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) akan melebar. Di tengah kondisi ini, dibutuhkan transaksi finansial yang sangat tinggi untuk menopang suplai valuta asing agar rupiah tak terpuruk.
Jika transaksi finansial tak cukup, maka simpanan valuta asing dalam bentuk cadangan devisa akan tergerus untuk menstabilkan rupiah.
"Biasanya kalau neraca transaksi berjalan defisit cukup besar rupiah melemah dan menciptakan sentimen buruk di pasar yang menyebabkan aliran modal keluar. Ini kemudian yang berdampak ke cadangan devisa. Makanya bisa dicek kalau neraca dagang defisit, devisa semakin menurun," tandasnya
(hrf/agt)