Segendang sepenarian, Pengamat Perpajakan Universitas Pelita Harapan (UPH) Ronny Bako tidak menyetujui pelaksanaan tax amnesty jilid II. Menurutnya, pelaksanaan tax amnesty jilid II justru bisa menimbulkan polemik di ranah global.
Bahkan, ia memperkirakan Indonesia bisa mendapatkan teguran dari Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) apabila melaksanakan kebijakan itu.
Pasalnya, benchmark secara global untuk pelaksanaan tax amnesty adalah selama 10 tahun. Itupun untuk negara dengan sistem perpajakan yang bagus.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Namanya amnesty, pengampunan tidak bisa berulang-ulang biasanya 10 tahunan. Nanti kita diketawain sama negara-negara maju terutama sama OECD, nanti kita bisa diboikot," ucapnya.
Meskipun tujuannya mendorong penerimaan perpajakan, ia meramal pelaksanaannya cenderung tidak akan efektif. Menurutnya, masyarakat cenderung tidak peduli terhadap program tersebut lantaran masih dalam proses pemulihan ekonomi akibat pandemi.
"Saya ragu itu bisa berhasil, nanti OECD pasti akan protes, kita kan terikat dengan OECD," ujarnya.
Ketimbang tax amnesty, ia mengusulkan pelonggaran perpajakan dalam bentuk cicilan bagi WP yang memiliki tunggakan. Misalnya, WP yang memiliki tunggakan untuk masa pajak 2020-2021 dibolehkan mencicil selam 3-5 kali sesuai dengan besaran tunggakannya.
Menurutnya, skema itu lebih efektif untuk mendorong penerimaan perpajakan yang kondisinya tengah lesu. Asalkan, WP mau jujur mengakui besaran tunggakannya pada periode pelonggaran itu.
"Itu urgent (mendesak), justru kita jangan kebanyakan diskusinya, harusnya bisa dieksekusi. Itu akan mendorong penerimaan perpajakan," katanya.
Akhir Februari lalu, penerimaan pajak masih minus 4,8 persen menjadi Rp146,1 triliun. Kontraksi ini ikut menyumbang defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021 sebesar Rp63,6 triliun.
Sementara itu, kalangan pengusaha mengaku menyambut baik rencana tersebut. Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani mengatakan tax amnesty jilid II akan memberikan kesempatan bagi WP yang belum berkesempatan di periode perdana 2016-2017 lalu.
"Tentunya kalau ada itu kami setuju karena itu fasilitas yang diberikan oleh negara untuk memberikan kesempatan bagi warga negara yang satu dan lain hal, laporan pajaknya mengalami kesulitan. Kalau tidak diberikan amnesty dia akan kena pinalti besar," ujarnya.
Apabila terlaksana, ia memperkirakan WP yang memanfaatkan fasilitas pengampunan ini justru bukan berasal dari kalangan pengusaha. Pasalnya, ia mengklaim mayoritas pengusaha telah mengikuti program itu pada tax amnesty lalu.
Namun, sepakat dengan para pengamat, Hariyadi menilai tax amnesty jilid II belum mendesak dilakukan karena Indonesia terbilang baru menggelar program itu.
"Kalau bicara urgensi karena kita habis tax amnesty tidak terlalu urgent, tapi mungkin pemerintah punya pertimbangan sendiri," katanya.
(agt)