Sri Mulyani Beberkan Dampak Stimulus AS ke Ekonomi RI
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah Indonesia akan bekerja keras menjaga fundamental ekonomi agar tidak jatuh di tengah gejolak pasar keuangan dan ekonomi global. Salah satu pemicunya adalah perubahan kebijakan pemerintah Amerika Serikat (AS) hingga wacana terulangnya imbas pengetatan moneter (taper tantrum) seperti yang terjadi pada 2013.
Begitu juga dengan dampak pertumbuhan ekonomi dari China. Hal ini diungkapkan Ani, begitu ia akrab disapa, saat menjadi pembicara di acara yang diselenggarakan Fitch Ratings secara virtual, Rabu (24/3).
"Kita (Indonesia) secara jelas masih terdampak spill over kebijakan yang terjadi di Amerika Serikat atau China, tapi kita akan terus mengembangkan fundamental ekonomi, sehingga bila spill over terjadi, tidak ada merusak atau membuat ekonomi collapse," ujar Ani.
Ani menerangkan kebijakan AS yang membuat gejolak di pasar keuangan dan ekonomi adalah pemberian stimulus fiskal senilai US$1,9 triliun. Stimulus ini diberikan di era pemerintahan presiden baru, Joe Biden.
Salah satu dampak yang muncul dari pemberian stimulus fiskal ini adalah tingkat imbal hasil (yield) surat utang AS, US Treasury yang meningkat. Menurut catatannya, yield US Treasury untuk tenor 10 tahun naik sekitar 85 persen dari 0,92 persen menjadi 1,7 persen dari kurun waktu 1 Januari sampai 19 Maret 2021.
Kenaikan yield obligasi dari negeri Paman Sam ikut mengerek yield surat utang dari negara-negara lain. Misalnya, yield surat utang Filipina misalnya, naik 48 persen.
Begitu juga dengan Brasil dan Rusia yang sama-sama naik 29 persen. Tapi, Indonesia masih 'untung' karena kenaikan yield cuma berkisar 11 persen sejak yield US Treasury meroket.
Hal ini, menurutnya, bisa menjadi modal bagi prospek ekonomi Indonesia ke depan agar tidak jatuh saat gelojak terjadi. Pasalnya, hal ini mencerminkan fundamental yang terjaga dari ekonomi tanah air.
"Yield obligasi kita hanya naik 11 persen, meski spread-nya mengetat. Tapi artinya, pemegang surat utang kita bisa merasa lebih aman dengan obligasi Indonesia, dan kami akan menjaga kepercayaan mereka dengan kebijakan kita," tuturnya.
Lebih lanjut, terkait wacana taper tantrum 2013 akan kembali terulang, bendahara negara itu memastikan setidaknya Indonesia memiliki fundamental yang lebih baik. Salah satunya tercermin dari porsi kepemilikan surat utang Indonesia oleh asing saat ini.
Menurut catatannya, jumlah kepemilikan surat utang Indonesia oleh asing di bawah 30 persen pada saat ini. Jumlah ini, katanya, lebih rendah dari saat kondisi taper tantrum 2013 lalu.
"Kepemilikan obligasi Indonesia oleh asing sudah turun dari masa taper tantrum sekitar 38 persen, sekarang di bawah 30 persen, dan saat ini kami terus meningkatkan basis investor domestik dari sisi ritel dan institusi," jelasnya.
Menurutnya, kepemilikan surat utang oleh investor dalam negeri bisa memperkuat fundamental ekonomi Indonesia. Selain itu, terkait inflasi, mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu mengklaim inflasi belum menjadi kekhawatiran pemerintah, meski pemulihan ekonomi terjadi.
Pasalnya, inflasi Indonesia masih terbilang rendah, yaitu 0,36 persen secara tahun berjalan dari Januari-Februari 2021. "Inflasi yang rendah ini bagus, tapi problematic juga untuk proses pemulihan" pungkasnya.