Bank Dunia Proyeksi Ekonomi RI 4,4 Persen, China 8,1 Persen
Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan berada di kisaran moderat 4,4 persen pada 2021. Sementara, proyeksi bagi ekonomi China melesat 8,1 persen pada tahun ini.
Bank Dunia merangkum proyeksi terbarunya dalam laporan terbaru edisi April 2021. Laporan itu dipublikasikan pada hari ini, Jumat (26/3).
"Indonesia, pertumbuhan ekonomi diperkirakan pulih menjadi 4,4 persen pada 2021," ungkap Kepala Ekonom Bank Dunia untuk kawasan Asia Timur dan Pasifik Aaditya Mattoo dalam konferensi pers virtual.
Kendati begitu, proyeksi ini tidak berubah dari asumsi terakhir yang dikeluarkan pada akhir tahun lalu. Menurutnya, ada beberapa hal yang mempengaruhi tetapnya besaran proyeksi ekonomi bagi Indonesia.
Dari sisi dukungan, Mattoo menilai ekonomi Indonesia didukung oleh kinerja ekspor yang baik. Indonesia mendapatkan keuntungan ekspor dari kenaikan harga komoditas di pasar internasional.
"Indonesia tidak seperti negara lain di kawasan, ekspornya meningkat. Yang membantu Indonesia adalah kebangkitan harga komoditas," jelasnya.
Selain ekspor, ekonomi Indonesia juga mendapat dukungan dari kebijakan stimulus fiskal dari pemerintah, meski dukungan stimulus ini masih lebih rendah dari negara-negara lain.
Pemerintah juga melakukan reformasi di bidang investasi dengan menerbitkan Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
"Ini benar-benar membuka investasi Indonesia sehingga memiliki kapasitas untuk memberikan dorongan yang besar bagi perekonomian. Ini adalah reformasi besar dan saya harap lebih banyak reformasi lagi," tuturnya.
Sementara dari sisi tantangan, Indonesia memiliki kelemahan di sistem dan fasilitas kesehatan. Hal ini berdampak pada kecepatan Indonesia dalam menangani pandemi covid-19.
"Sistem kesehatan sangat terdesentralisasi dan terbukti sangat sulit untuk menahan penyakit, dan ini salah satu tantangan Indonesia," katanya.
Belum lagi, Indonesia merupakan negara kepulauan. Hasil kajian Bank Dunia melihat negara kepulauan dan negara yang bergantung pada sektor pariwisata akan pulih lebih lama dari dampak pandemi covid-19, misalnya Indonesia dan Filipina.
Tidak hanya itu, jumlah kasus covid-19 di Indonesia juga masih relatif tinggi, meski pemerintah berusaha mengendalikannya melalui pengujian dan isolasi. Untungnya, Indonesia sudah mulai melakukan vaksinasi.
Kendati begitu, ekonomi Indonesia juga akan menghadapi tantangan dari dampak pemberian stimulus fiskal Amerika Serikat senilai US$1,9 triliun.
Sebab, stimulus fiskal dari Presiden AS Joe Biden akan menimbulkan efek kenaikan tingkat imbal hasil (yield) surat utang dan keluarnya aliran modal asing (capital outflow), sehingga memberi tekanan bagi ekonomi domestiik. "Itu risiko yang menurut saya juga akan membatasi sejauh mana Indonesia bisa melangkah jauh," ucapnya.
Ekonomi China dan Asia
Sementara untuk ekonomi Asia Timur-Pasifik, Bank Dunia memperkirakan lajunya berada di kisaran 7,5 persen pada 2021. Tingginya pertumbuhan ekonomi di kawasan ini utamanya dipengaruhi oleh ekonomi China yang diramal mencapai 8,1 persen, dan Vietnam 6,6 persen.
"Hanya China dan Vietnam yang mengikuti jalur pemulihan bentuk kurva V dengan output yang melebih level pra-covid-19. Karena mereka tidak begitu terpengaruh oleh krisis," terangnya.
Sementara negara-negara lain diperkirakan berada di kisaran rata-rata 4,4 persen atau sekitar 0,4 persen lebih lambat dari pertumbuhan sebelum krisis akibat covid-19.
Negara-negara kepulauan yang bergantung pada sektor pariwisata, seperti Thailand dan Filipina diperkirakan juga masih berada di level sebelum pandemi.
Sedangkan pemulihan diramal akan lebih lama bagi negara-negara kecil. Pertumbuhan ekonomi mereka kemungkinan bisa masih berada di zona negatif.
"Kontraksi ekonomi berat dan terus menerus di beberapa negara pulau kecil dengan output di bawah tingkat pra-pandemi di Fiji, Palau, dan Vanuatu," imbuhnya.
Mattoo memaparkan ada beberapa hal yang secara umum mempengaruhi perbedaan laju ekonomi di masing-masing negara di kawasan Asia Timur-Pasifik. Pertama, kemampuan tiap negara berbeda dalam menahan laju perkembangan kasus covid-19.
Menurutnya, penanganan covid-19 yang lebih efisien adalah dengan melakukan mitigasi dan transisi lebih awal serta secara ketat melakukan pengujian yang efektif. Strategi ini lebih efektif ketimbang mengandalkan kebijakan penutupan daerah secara berkepanjangan.
"Peluncuran vaksin sejauh ini tidak memberikan dampak yang berarti pada pertumbuhan di kawasan tersebut," terangnya.
Kedua, perbedaan dari sisi kebangkitan sektor perdagangan dan manufaktur serta tidak terlalu bergantung pada pariwisata. Ketiga, besaran stimulus fiskal yang berbeda-beda.
Kendati begitu, seluruh negara masih menghadapi tantangan yang sama, yaitu masih mewabahnya covid-19 di dunia. Lalu, ada juga dampak stimulus fiskal AS.
"Stimulus AS dapat menambah rata-rata satu poin persentase untuk pertumbuhan negara-negara di kawasan ini pada 2021 dan membawa pemulihan rata-rata sebesar satu kuartal. Tetapi, implementasi vaksinasi yang lambat, karena ketidaksesuaian antara vaksin dengan kebutuhan dan kapasitas yang terbatas, dapat memperlambat pertumbuhan sebanyak satu poin persentase di beberapa negara," pungkasnya.
(uli/bir)