Luas lahan pertanian di Indonesia semakin tergerus. Hal ini terjadi bukan karena 'tersulap' jadi pemukiman masyarakat, namun juga kawasan industri dan jalan.
Tengoklah kawasan industri di Bekasi dan Karawang, Jawa Barat. Dulu, lokasinya merupakan area sawah. Tapi kini sudah menjadi kawasan industri sibuk di tanah air.
Tak hanya dua lokasi itu, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo bahkan mencatat ada 150 ribu hektare (ha) lahan pertanian yang sudah beralih fungsi menjadi nonpertanian. Padahal, lahan yang tersulap baru 30 ribu ha pada 1990.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Memang ada kenyataan alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian yang masih terus berlangsung saat ini, bahkan cenderung meningkat, terjadi di perkotaan alihkan industri jalan strategis," ujar Syahrul dalam rapat kerja bersama Komisi IV DPR, Senin (29/3).
Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori mengatakan masalah alih fungsi lahan pertanian sejatinya klasik. Ini sudah terjadi sejak lama.
Padahal, Pasal 44 Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan secara tegas mengatur lahan yang udah ditetapkan sebagai kawasan pertanian pangan berkelanjutan harus dilindungi dan haram dialihfungsikan.
Dan kalaupun mau dilakukan, alih fungsi lahan pertanian pun hanya dapat dilakukan dengan beberapa syarat. Antara lain, kajian kelayakan strategis, rencana alih fungsi lahan, dibebaskan kepemilikan haknya dari pemilik, dan disediakan lahan pengganti terhadap lahan pertanian pangan berkelanjutan yang dialihfungsikan.
Dalam Pasal 73 beleid sama pun tertulis, pejabat yang melanggar aturan alih fungsi lahan pertanian dapat dipenjara paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun atau denda Rp1 miliar sampai Rp5 miliar.
"Catatan penting dari UU 41/2009 adalah sampai sekarang pemerintah baik pusat, provinsi, kabupaten/kota, belum menetapkan wilayah lahan pertanian berkelanjutan yang dilindungi. Sepanjang ini belum ditetapkan, secara teori lahan-lahan sawah yang ada akan selalu terancam konversi karena secara peraturan belum dilindungi," ujar Khudori kepada CNNIndonesia.com.
Masalahnya, ketika tidak ada aturan ketat dari pusat maupun daerah, tentu akan semakin mudah lahan pertanian digoyang untuk alih fungsi.
"Penentuan ini mesti berbarengan dengan penyelesaian tata ruang wilayah, yang belum semua daerah menuntaskannya," imbuhnya.
Sayangnya, perubahan aturan dari waktu ke waktu, bukannya semakin 'memagari' lahan pertanian, tapi justru makin memperparah alih fungsi. Salah satunya di UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
"Sebenarnya UU 41/2009 itu semangatnya adalah melarang konversi, konversi boleh tapi dengan syarat ketat, yang jika dilanggar, sanksinya juga berat, tapi UU ini diubah pasal-pasalnya lewat UU Cipta Kerja. Bahkan, jika sebelumnya lahan beririgasi dikecualikan dari konversi, lewat UU Cipta Kerja bisa dikonversi untuk proyek strategis nasional atau kepentingan umum. Sangat mungkin kehadiran UU Cipta Kerja akan membuat konversi semakin masif," terangnya.
Khudori pun membandingkan masalah perlindungan lahan pertanian ini dengan negara lain. Menurutnya, Indonesia cukup tertinggal soal perlindungan lahan pertanian dibandingkan negara maju, bahkan dengan Jepang.
"Jepang banyak sekali meriset tentang ini, makanya sawah atau lahan pertaniannnya dilindungi," katanya.
Khudori menyadari memang pembangunan perlu lahan tapak. Di sisi lain, pembangunan juga perlu seiring berubahnya arah aktivitas masyarakat yang semakin modern karena globalisasi.
Tapi masalahnya, kalau lahan pertanian sudah terlanjur disulap untuk peruntukan lain, akan sulit mengembalikan peruntukannya lagi.
"Artinya sekali terjadi konversi hampir mustahil bakal dikembalikan lagi untuk penggunaan pertanian seperti semula," tuturnya.
Ia mengakui dari sisi ekonomi, alih fungsi lahan pertanian menjadi nonpertanian bisa memberi nilai besar. Namun, jangan karena nilai itu pemerintah jadi menutup mata terhadap lahan pertanian seberapa kecil pun nilai ekonominya.
Lahan tersebut tetap perlu dipertahankan untuk menjamin kelangsungan pangan masyarakat di masa depan.
Hal ini karena lahan pertanian bukan cuma punya nilai terukur, tapi juga yang tak terukur (intangible). Hal yang bisa diukur, misalnya investasi untuk membuka lahan sawah, infrastruktur irigasi, jalan, dan lainnya. Setelah itu, baru bisa dihitung produktivitasnya dan output dalam menghasilkan pangan bagi masyarakat secara berkelanjutan.
"Tapi jangan lupa, sawah atau lahan pertanian itu ada multifungsi, yang selama ini hampir tak dihargai, misalnya menjaga budaya perdesaan, budaya masyarakat, kesehatan lingkungan, udara bersih, pengendali banjir dan air limpasan dan masih banyak lagi," ucapnya.