Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyoroti potensi pelanggaran HAM (hak asasi manusia) dalam proyek pariwisata di Mandalika, Lombok, Nusa Tenggara Barat. PBB khawatir proyek itu menimbulkan perampasan tanah yang agresif, penggusuran paksa terhadap masyarakat adat dan intimidasi terhadap pembela HAM.
Lantas, bagaimana sepak terjang proyek di Mandalika?
Pemerintah meresmikan proyek Mandalika pada 2017 lalu. Mandalika ditetapkan menjadi salah satu dari Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) sektor pariwisata di Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mengutip laman resmi Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), Selasa (6/4), penetapan KEK Mandalika tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 52 Tahun 2014 tentang KEK Mandalika.
KEK Mandalika memiliki luas hingga 1.035,67 hektare dan menghadap Samudera Hindia. KEK itu terletak di bagian selatan Pulau Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).
Pemerintah menyebutkan Mandalika berasal dari nama seorang tokoh legenda, yaitu Putri Mandalika. Setiap tahun, masyarakat Lombok Tengah melakukan upacara Bau Nyale.
Upacara itu merupakan ritual mencari cacing laut yang dipercaya sebagai jelmaan dari Putri Mandalika. Pemerintah menyebut upacara itu menjadi budaya yang unik dan menarik wisatawan, baik lokal dan internasional untuk melihatnya.
KEK Mandalika dibangun dengan konsep pengembangan pariwisata berwawasan lingkungan. Dengan demikian, pembangunannya berorientasi kepada kelestarian nilai dan kualitas lingkungan hidup masyarakat.
Pemerintah pusat menunjuk PT Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC) sebagai pengelola KEK Mandalika.
Beberapa kegiatan usaha di sini adalah hotel, resor, serta meeting, incentive, convention, and exhibition (MICE) atau tempat untuk pertemuan, konvensi, hingga pameran.