Fithra mengatakan ketimpangan di DKI Jakarta disebabkan kenaikan upah, buah dari konvergensi global seperti disebutkan sebelumnya, hanya dinikmati oleh sejumlah sektor saja. Terutama jasa dan keuangan.
"Kalau kita lihat beberapa tahun terakhir, meskipun koefisien gini ratio kita dalam keadaan yang baik, tapi kecenderungan meningkat, ada ketimpangan kota besar dan kota kecil," jelasnya.
Dalam jangka panjang, ia mengatakan kondisi ketimpangan tersebut bisa mengakibatkan golongan milenial maupun masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah terpinggirkan dari ibu kota. Saat ini fenomena itu sudah terlihat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mereka mulai minggir ke daerah penyangga DKI Jakarta yang notabene harga barangnya lebih murah ketimbang ibu kota.
Sebagai contoh, kaum milenial cenderung membeli properti di kawasan penyangga seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek).
"Sekarang orang muda tidak tinggal lagi di Jakarta, mereka pindah ke pinggir karena tidak mampu lagi beli properti atau tanah di Jakarta. Bahkan, pada 2020 pertumbuhan properti di Asia jauh lebih tinggi dari Eropa, Jakarta bahkan setingkat di bawah Miami, AS," paparnya.
Menurutnya, lambat laun apabila kondisi tersebut dibiarkan maka potensi ketimpangan pun semakin melebar. Namun, di sisi lain ada dampak positif dari kondisi tersebut.
Sebab, perpindahan sejumlah masyarakat ke kawasan pinggiran diprediksi mampu menggerakkan perekonomian di daerah itu. Selain itu, pertambahan penduduk di daerah penyangga diharapkan mampu mendorong datangnya investasi ke wilayah itu.
"Aktivitas ekonomi jauh lebih merata, dengan Jakarta dulu sebagai center (pusat), sekarang aktivitas ekonomi mulai spillover (tersebar) ke daerah penopang di Bodetabek," tuturnya.
Terpisah, Kepala Ekonom BCA David Sumual menilai posisi Jakarta sebagai peringkat ke-20 kota termahal di dunia adalah wajar. Alasannya, sebagai kota metropolitan, ibu kota merupakan pusat peredaran uang di Indonesia.
Dirangkum dari berbagai sumber, sebesar 70 persen perputaran uang Indonesia berada di DKI Jakarta.
"Untuk Jakarta daya beli cukup kuat, contoh selama pandemi ini masyarakat menengah ke atas masih punya daya beli," tuturnya.
Sepakat dengan Fithra, ia mengatakan konsekuensi dari banyaknya peredaran uang di Jakarta sebagai kota termahal adalah ketimpangan penduduk. Terlebih, Indonesia tidak memiliki sistem pengendalian perpindahan penduduk dari kota ke desa, serta sebaliknya seperti di China.
Pemerintah China memberlakukan sistem Hukou, atau pendataan keluarga. Dengan sistem Hukou ini, warga pedesaan China tidak boleh asal pindah dan tinggal menetap di kota, begitu juga sebaliknya.
"Kita daerah terbuka, tidak seperti di China dengan sistem kuota masyarakat, jadi tidak bisa urbanisasi dengan mudah. Kalau kita, daerah yang mungkin minus bisa melakukan urbanisasi, makanya itu pentingnya pemerataan pembangunan di daerah, sehingga tidak terpusat di Jakarta," tuturnya.
Menurutnya, pemerintah harus mengambil sikap mengendalikan perpindahan penduduk ke Jakarta, sehingga mengurangi ketimpangan di ibu kota. Dalam hal ini, pemerintah bisa memanfaatkan perkembangan teknologi digital yang memungkinkan kegiatan ekonomi berlangsung di pedesaan lewat bantuan digitalisasi.
Pasalnya, sepakat dengan Fithra, apabila pusat perekonomian terpusat hanya di Jakarta maupun kota besar lainnya, maka jurang ketimpangan semakin lebar.
"Tentu ada dampak sosial kalau arus urbanisasi semakin besar di Jakarta, sering ada suara di daerah mengenai ketidakadilan. Makanya, pembangunan seperti dikatakan pemerintah seharusnya dari pinggiran, seperti negara lain mereka memberdayakan juga desa sehingga pusat pertumbuhan disebar," katanya.
(agt)