Direktur Utama Indonesia Financial Group (IFG) Robertus Bilitea mengungkapkan holding atau penggabungan usaha dengan membentuk induk BUMN sejatinya bukan barang baru. Pasalnya, upaya itu sudah dilakukan usai krisis moneter pada 1997-1998.
Salah satunya bisa terlihat dari kasus Bank Mandiri.
"Dulu (usai krisis moneter), kita melihat beberapa bank negara disatukan menjadi Bank Mandiri. Kita melakukan reformasi di sektor perbankan, kita lakukan refocusing dari fokus usaha masing-masing bank," ungkap Robertus di acara peluncuran IFG Progress secara virtual, Rabu (28/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah lebih dari 20 tahun, ide menggabungkan rupanya masih relevan dilakukan. Namun, hal ini bertransformasi bukan sekadar menggabungkan yang lebih mengarah ke merger, tapi pembentukan holding.
Bedanya, sambung Robertus, pembentukan holding saat ini dilakukan karena lini bisnis dari tiap-tiap perusahaan negara terlalu banyak. Di sisi lain, ada beberapa BUMN yang memiliki jenis bisnis serupa.
"Maka perlu ada penajaman dari bisnis BUMN itu sendiri. Saat ini, apa saja perusahaan ada di BUMN dan saya pribadi melihat diversity ini membuat BUMN tidak fokus. Perusahaan sektor A, tapi anak cucunya sudah sampai J, K, L, M, N, O, P, tidak sesuai core bisnis holding-nya," jelasnya.
Lihat juga:Jiwasraya Defisit Rp38,6 T per Akhir 2020 |
Untuk itu, menurutnya, pembentukan holding menjadi perlu untuk dilakukan pemerintah lagi pada saat ini. Pemerintah, katanya, ingin BUMN kembali fokus pada lini bisnisnya masing-masing.
"Fokus bisnis ini kita jaga secara disiplin, kita jaga lihat secara detail di masing-masing anak usaha," imbuhnya.
Alasan lain, katanya, mempertimbangkan penugasan dari pemerintah ke BUMN sebagai agen pembangunan.
"BUMN ini sulit didefinisikan, bisa dibilang entitas yang menjalankan usaha untuk mendapat profit untuk pemegang sahamnya, tapi BUMN ditambah untuk memberi pelayanan publik," pungkasnya.
(uli/agt)