Ekonom Nilai APBD 'Nganggur' Jadi Alasan Konsumsi Minus

CNN Indonesia
Rabu, 05 Mei 2021 17:25 WIB
Ekonom menilai salah satu faktor yang membuat pertumbuhan ekonomi RI masih minus di kuartal I 2021 karena lambatnya pemda membelanjakan APBD.(ANTARA FOTO/ADITYA PRADANA PUTRA).
Jakarta, CNN Indonesia --

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai salah satu faktor yang membuat pertumbuhan ekonomi RI masih minus di kuartal I 2021 ialah lambatnya pemerintah daerah (pemda) membelanjakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Bhima memaparkan endapan uang daerah di perbankan bukan hal baru. Sejak tahun lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah menyentil pemda untuk mencairkan dana masing-masing. Sebagai informasi, per akhir Maret lalu tercatat uang 'nganggur' daerah yang mengendap di perbankan mencapai Rp182 triliun.

Bhima menyebut keterlambatan belanja pemda sejak tahun lalu menunjukkan masyarakat daerah belum mendapatkan bantuan maksimal dari APBD. Maka dia tak heran kalau pada kuartal I 2021 realisasi tercatat minus 0,74 persen.

"Yang sedih, dari sisi support belanja pemda ternyata terhambat karena masih ada perilaku anggaran yang sama seperti 2020, di mana pemda masih menyimpan Rp182 triliun di bank daerah. (Artinya), di daerah banyak yang belum mendapatkan bantuan fiskal atau APBD yang memadai," jelasnya kepada CNNIndonesia.com, Rabu (5/5).

Faktor berikutnya, lanjut Bhima, disebabkan oleh masih rendahnya konsumsi rumah tangga. Padahal, konsumsi RT merupakan komponen terbesar dalam perekonomian nasional.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat konsumsi RT pada kuartal I 2021 negatif 2,23 persen. Bhima mengatakan kontraksi juga disebabkan oleh pembatasan mobilitas yang ditetapkan pemerintah guna menekan laju infeksi covid-19, seperti PPKM mikro.

Selain itu, rendahnya konsumsi juga disumbang oleh kurang pede-nya masyarakat menengah atas menggelontorkan dananya ke sektor riil. Menurut Bhima, orang tajir memilih menyimpan uangnya di bank atau dibelanjakan di pasar modal.

Hal ini tercermin dari catatan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pada Februari lalu di mana simpanan masyarakat di bank dengan nominal di atas Rp5 miliar tumbuh 13,2 persen menjadi Rp3.283 triliun.

Secara total, simpanan masyarakat di perbankan per Februari 2021 sebesar Rp6.726 triliun. Simpanan tersebut tersebar di 107 bank umum, terdiri dari 95 bank umum dan 12 bank umum syariah.

"Vaksinasi tidak menjamin kelas menengah atas pede melakukan belanja, apalagi berkerumun di pusat perbelanjaan," jelasnya. 

Bhima memprediksi pertumbuhan ekonomi kuartal II bakal positif di kisaran 1-2 persen. Namun, dia memberikan beberapa catatan kepada pemerintah untuk mendorong konsumsi masyarakat. 

Dia mengusulkan agar pemerintah membebaskan atau menurunkan PPN di sektor ritel guna menekan harga jual produk di level konsumen. Ia yakin strategi itu dapat mendorong daya beli masyarakat.

"Jadi menyesuaikan daya beli masyarakat yang saat ini belum pulih, jadi masyarakat bisa lebih banyak belanja," paparnya.

Dia pun mendesak penyaluran anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), khususnya di sektor perlindungan sosial. Per 17 Maret 2021, realisasi PEN tahun ini baru mencapai 10,9 persen atau Rp76,59 triliun dari total Rp699,43 triliun.

Untuk perlindungan sosial, anggaran yang dikucurkan senilai Rp25,97 triliun atau sekitar 16,5 persen dari total pagu. Kemudian, dia juga menilai pemerintah mesti melanjutkan bantuan upah kepada pekerja yang pendapatannya belum kembali normal.

"Berikutnya harus kerja keras di investasi untuk menciptakan lapangan kerja. Meski investasi lebih baik tapi investasi yang masuk kualitas relatif rendah karena serapan tenaga kerjanya tidak seperti kebutuhan," beber Bhima.

Bhima mengingatkan pemerintah untuk memerhatikan sektor-sektor yang masuk dalam kategori tersebut. Pasalnya, dia menilai pemulihan ekonomi RI bakal berbentuk kurva 'K' alias bakal ada sektor-sektor yang mengalami resesi jangka panjang hingga akhir tahun ini, 



Pariwisata dan Transportasi Masih Kontraksi


BACA HALAMAN BERIKUTNYA
HALAMAN :