Ekonom Indef mempertanyakan efektivitas anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) terhadap konsumsi rumah tangga (RT) usai realisasinya pada kuartal I 2021 minus 2,23 persen.
Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad melihat indikasi kegagalan dana PEN untuk perlindungan sosial menangani lemahnya daya beli masyarakat. Ini tercermin dari konsumsi makanan dan minuman (mamin) selain restoran yang malah lebih buruk dari kuartal IV 2020.
Data Badan Pusat statistik (BPS) menunjukkan pada kuartal I 2021 untuk mamin selain restoran kontraksi tercatat 2,31 persen, jatuh lebih dalam dari kuartal sebelumnya di level negatif 1,39 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk diketahui, dari persentase pagu PEN 2021, salah satu belanja terbesar ada di perlindungan sosial, mencapai Rp148,66 triliun dari total pagu Rp627,9 triliun.
Tauhid menilai kontraksi mamin dari total konsumsi RT menjadi masalah karena dari komposisi konsumsi RT, mamin mengambil porsi lebih dari 50 persen. Sehingga, bila konsumsi mamin anjlok, maka otomatis konsumsi RT secara keseluruhan pun bakal terkontraksi.
"Kalau pemerintah selama ini meyakinkan kita kalau PEN berjalan efektif tapi kita lihat nyatanya konsumsi RT masih kontraksi dan mamin bertambah buruk, maka patut dipertanyakan PEN untuk perlindungan sosial tidak cukup baik mendorong konsumsi," terangnya pada press conference daring, Rabu (5/5).
Lebih jauh, ia mengatakan lesunya daya beli masyarakat dapat dilihat dari rendahnya tingkat inflasi kuartal I tahun ini yang rata-rata berada di bawah 1,5 persen. Ini membuat permintaan barang dan jasa tertahan karena daya beli rendah yang juga menyeret konsumsi.
Sebagai perbandingan, di era sebelum covid-19 pada Februari-Maret 2020 lalu, rata-rata inflasi berada di rentang 2,6 persen hingga 3 persen.
Indikasi lain, tercermin dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada Maret lalu ada di level 93,4. IKK di bawah 100, lanjut Tauhid, berarti masyarakat masih pesimis.
"Meski ada perbaikan pada Maret tapi secara umum konsumen melihat lewat IKK mereka masih pesimis dan belum normal," imbuhnya.
Karena itu, ia menilai beberapa insentif pemerintah terkait perlindungan sosial perlu dipertanyakan kejituannya.
Seperti diketahui, BPS mengumumkan pertumbuhan ekonomi RI pada kuartal I 2021 masih negatif, tepatnya di level 0,74 persen. Ini membuat Indonesia belum meninggalkan zona resesi sejak terperosok pada kuartal II 2020 lalu.