Ekonom Indef Bhima Yudhistira Adhinegara menilai rencana pemerintah menerapkan pengampuan pajak alias tax amnesty sebagai jalan pintas mencari pembiayaan baru yang berpotensi membahayakan ekonomi nasional.
Bahaya pertama, ia menjelaskan menurunnya kepercayaan pembayar pajak karena amnesti pajak sekali lagi dilakukan setelah terakhir dilakukan pada 2016-2017 lalu. Apalagi, pemerintah pernah berjanji bahwa tax amnesty hanya dilakukan satu kali.
Psikologi pembayar pajak, lanjutnya, bakal terganggu karena pemerintah bukannya menegakkan kepatuhan pembayaran pajak, malah memberi pengampunan pajak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ya buat apa patuh pajak? (Toh), pasti ada tax amnesty berikutnya. Ini blunder ke penerimaan negara," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Jumat (21/5).
Bahaya kedua, tax amnesty tidak terbukti meningkatkan penerimaan pajak jangka panjang. Lihatlah, rasio pajak periode 2018-2020 bukannya meningkat, malah merosot hingga menyentuh satu digit, yakni 8,3 persen.
Lagipula, pengampunan pajak rawan digunakan untuk pencucian uang lintas negara. Atas nama pengampunan pajak, perusahaan yang melakukan kejahatan keuangan bisa memasukkan uangnya ke Indonesia.
"Terlebih saat ini rawan pencucian uang dari kejahatan korupsi selama pandemi covid-19," beber Bhima.
Selain itu, kata Bhima, seharusnya pemerintah mengejar wajib pajak yang tidak ikut tax amnesty lima tahun lalu, bukannya malah memberikan kesempatan kedua.
Karena sudah memiliki data dari tax amnesty jilid I, sebetulnya pemerintah memiliki data Pertukaran Pajak antar Negara (AEOI) dan dokumen internasional Panama Papers hingga Fincen Papers yang bisa digunakan untuk menelusuri pihak yang tak patuh.
"Dari database yang sudah ada dikejar para pengemplang pajak, bukan memberikan pengampunan berikutnya. Ini menunjukkan arah kebijakan fiskal yang gagal," ungkap Bhima.
Selanjutnya, dia menyebut pengampunan pajak bakal memperburuk ketimpangan antara orang kaya dan miskin. Sebab, dari berbagai kebijakan pemerintah selama pandemi covid-19, menurut dia, lebih banyak kebijakan yang pro kepada korporasi.
Contohnya, penurunan tarif PPh badan dari 25 persen menjadi 20 persen hingga 2022 dan diskon Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) mobil, hingga gratis PPN rumah.
Sementara, bagi masyarakat umum malah akan dinaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 10 persen menjadi hingga 15 persen.
Ia juga memberi catatan kepada pemerintah terkait kenaikan rasio gini (kesenjangan pendapatan). Per 2020, rasio gini naik menjadi 0,385 dengan kelompok 20 persen teratas memiliki porsi pengeluarannya meningkat dari 45,3 persen menjadi 46,2 persen dalam periode setahun.
"Jadi kebijakan tax amnesty sangat membahayakan ketimpangan pascacovid-19," bebernya.
Pengamat Perpajakan Universitas Pelita Harapan (UPH) Ronny Bako lebih menyoroti kejanggalan yang terjadi dengan wacana menaikkan PPN. Pasalnya, masyarakat saat ini masih berjuang melawan pandemi.
Di saat berbagai negara lain menurunkan sementara PPN atau goods and services tax (GST) guna mendorong daya beli, Indonesia malah berniat menaikkan PPN.
Ia khawatir rencana menaikkan PPN malah menjadi petaka karena dilakukan saat masyarakat baru mulai bangkit. Saat harga barang naik, yang ada masyarakat mengerem konsumsi dan momentum pertumbuhan ekonomi bisa jadi tertunda.
"Kalau tepat tidaknya, pasti tidak tepat karena orang baru hidup kembali dan digenjot (lewat PPN). Apakah akan berhasil? Kan tidak, malah bisa petaka," imbuhnya.
Ia juga menilai kebijakan bersifat kontraproduktif dengan berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah untuk menggenjot pemulihan ekonomi.
Kejanggalan lain yang diamatinya adalah tidak sejalannya antara pemerintah pusat yang terus mengambil utang baru, namun pemerintah daerah malah mengendapkan uang di rekening bank daerah.
Dia mengaku bingung dengan berlawanannya sikap antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sementara Kementerian Keuangan terus menjajal Surat Utang Negara (SUN), selisih lebih pembiayaan anggaran tahun berkenaan (SILPA) malah membengkak mencapai Rp178,8 triliun per Maret 2021.
Kalau saja dana mengendap di bank daerah dibelanjakan, dia menilai pendapatan yang didapat dari belanja modal dan barang daerah bisa diputar untuk menambal sebagian kebocoran APBN.
"Jadi masih banyak yang harus diluruskan mau ke arah mana ekonomi kita. Kalau pandemi sampai 2022 ya jangan bebani masyarakat dengan hal-hal demikian. Itu kontraproduktif," terang dia.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menyurati DPR untuk membahas Rancangan Undang-undang (RUU) Perpajakan dan Tata Cara Perpajakan.
Menurut dia, RUU bakal membahas perubahan PPN, tarif pajak penghasilan (PPh) orang pribadi, pengurangan tarif PPh badan, hingga perubahan ketentuan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) pajak barang dan jasa (GST), hingga penetapan pajak karbon.
(wel/bir)