Mantan Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Syarkawi Rauf menjelaskan soal monopoli jaringan listrik oleh PT PLN (Persero) yang tak melanggar ketentuan persaingan usaha.
Menurutnya, dalam Undang-Undang nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, hal tersebut tidak diharamkan.
"Monopoli itu enggak apa-apa dalam undang-undang kita, monopoli itu tidak ada masalah itu bukan barang haram kalau dia memonopoli di satu sektor atau satu komoditi," ujarnya dalam webinar yang digelar Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI), Kamis (3/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pelanggaran terhadap ketentuan persaingan usaha, menurutnya, terjadi ketika PLN mengeksploitasi konsumen dengan menetapkan harga jual yang terlalu tinggi.
"Yang jauh di atas average cost. Jadi total cost sudah dihitung, total output sudah dihitung. Total cost dibagi dengan total output itu kan average kalau dia jualan jauh di atas rata-ratanya ini bisa dikategorikan melanggar," tuturnya.
Dalam kesempatan tersebut, ia juga mendorong DPR untuk merevisi UU Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat tersebut untuk ketentuan monopoli yang dikecualikan atau diperbolehkan bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Sebab, dalam Pasal 50 dan 51 beleid tersebut, BUMN juga bisa melakukan monopoli atau penguasaan atas produksi barang dan jasa yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Hanya saja, sejak aturan ini diundangkan sampai saat ini tidak pernah ada penjelasan lebih lanjut mengenai teknis pengecualian ini.
Di samping itu ia juga meminta definisi terkait oligopoli dan monopoli dalam UU tersebut diperbarui sesuai dengan konteks ekonomi saat ini. Pasalnya monopoli dan oligopoli di dalam aturan tersebut selalu dikaitkan dengan penguasaan pasar.
Misalnya, perusahaan disebut melakukan monopoli jika menguasai lebih dari 50 persen pangsa pasar. Padahal dengan ekosistem digital yang saat ini berkembang, tak perlu memiliki 50 persen pangsa pasar untuk dapat mengeksploitasi konsumen.
"Saya menyarankan proses revisi ini membongkar paradigma dan cara berpikir yang ada dalam undang-undang ini sehingga sesuai dengan konteks perekonomian yang ada sekarang," pungkasnya.