PPN Sembako 'Bunuh Diri' Ekonomi di Tengah Pandemi
Pemerintah kembali memberikan kejutan di tengah pandemi covid-19. Usai niat mengerek pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen, kini pemerintah berencana mengenakan PPN terhadap sembako atau barang kebutuhan pokok.
Hal tersebut tertuang dalam perluasan objek PPN yang diatur dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Dalam draf aturan itu, barang kebutuhan pokok dihapus dalam kelompok jenis barang yang tidak dikenakan PPN. Artinya, barang pokok akan dikenakan PPN.
Baca juga:Sembako Bakal Kena PPN |
Barang pokok yang tidak dikenakan PPN sebelumnya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 116/PMK.010/2017. Barang pokok yang dimaksud, seperti beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, ubi-ubian, sayur-sayuran, bumbu-bumbuan, dan gula konsumsi.
PPN adalah pungutan yang dibebankan atas transaksi jual-beli barang dan jasa yang dilakukan oleh badan yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Pihak yang membayar PPN adalah konsumen akhir.
Menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira, pemerintah sedang bunuh diri. Ia menilai tega-teganya pemerintah mematok PPN terhadap barang kebutuhan pokok masyarakat.
"Pemerintah sepertinya sedang melakukan bunuh diri ekonomi tahun depan. Momentum pemulihan ekonomi justru diganggu kebijakan pemerintah sendiri," ungkap Bhima kepada CNNIndonesia.com, Rabu (9/6).
Baca juga:Daftar Sembako yang Bakal Kena PPN |
Kalau barang kebutuhan pokok dikenakan PPN, maka otomatis harga jualnya akan naik. Sebab, pengusaha biasanya membebankan biaya PPN kepada konsumen. "Kenaikan harga pada barang kebutuhan pokok mendorong inflasi," tutur Bhima.
Apabila inflasi tinggi, artinya harga barang-barang naik. Hal ini jelas akan menekan daya beli masyarakat. Masyarakat akan mengurangi belanjanya. Alhasil, tingkat konsumsi rumah tangga semakin melemah, sehingga akan berdampak negatif terhadap ekonomi nasional.
Jika aturan ini diketok dan berlaku tahun depan, jangan harap target pertumbuhan ekonomi 5 persen pada 2022 akan terwujud. Ekonomi tidak akan pernah bisa bergerak signifikan ketika konsumsi masyarakat tertekan.
"Masyarakat akan mengurangi belanja, bahkan berhemat. (Ekonomi Indonesia) bisa lebih rendah ke 2 persen-4 persen," tegas Bhima.
Parahnya lagi, kenaikan harga barang pokok karena PPN juga berpotensi mengerek tingkat kemiskinan di dalam negeri. Mengingat, 73 persen penyumbang garis kemiskinan berasal dari bahan makanan.
"Artinya sedikit saja harga pangan naik, maka jumlah penduduk miskin akan bertambah," kata Bhima.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin tembus 27,55 juta pada September 2020. Angka itu setara dengan 10,19 persen dari total populasi nasional.
Populasi penduduk miskin meningkat dari sebelumnya 26,42 juta pada Maret 2020. Begitu juga dari sisi tingkat kemiskinan, meningkat dari sebelumnya 9,78 persen pada periode yang sama.
Baca juga:DPR Kritik Rencana Sembako Kena PPN |