Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok buka-bukaan terkait segambreng fasilitas 'surgawi' yang diberikan perusahaan minyak negara kepadanya.
Sebagai komisaris utama misalnya, ia mengaku selama ini mendapatkan fasilitas kartu kredit dengan limit atau batas maksimal nominal transaksi Rp30 miliar.
"Yang saya dapatkan buat saya sebagai komisaris utama dengan limit Rp30 miliar," ungkap Ahok kepada CNNIndonesia.com, Selasa (15/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fasilitas kartu kredit juga diberikan kepada dewan komisaris lain, direksi, dan manajer perusahaan. Namun, fasilitas itu baru saja diusulkan untuk dicabut oleh Ahok dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) pada Senin (14/6) lalu.
Usul disampaikan demi menghemat pengeluaran perusahaan. Tak hanya kartu kredit, Ahok juga menyebut direksi juga mendapatkan insentif lain berbentuk uang representatif.
Uang itu diberikan di luar gaji mereka. Uang representatif bisa diartikan sebagai tambahan uang saku kepada pejabat negara, sekretaris daerah, pimpinan dan anggota DPRD, dan pejabat eselon II dalam melakukan perjalanan dinas.
Sama seperti kartu kredit, Ahok juga meminta agar fasilitas itu dihilangkan. Tujuannya sama; agar keuangan perusahaan semakin efisien.
Tak hanya di Pertamina, fasilitas kartu kredit juga diterima Komisaris Utama PT Telkom (Persero) Tbk Bambang Brodjonegoro. Hanya saja, ia tak tahu persis berapa limit kartu kredit yang diberikan perusahaan.
"Infonya ada fasilitas kartu kredit, tapi saya belum terinfo mekanisme dan limitnya. Limit Rp30 miliar untuk komisaris utama tampaknya tidak masuk akal," ucap Bambang.
Adanya fasilitas itu pun diakui Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga. Ia mengatakan sejumlah perusahaan pelat merah memang memiliki fasilitas kartu kredit, termasuk Pertamina.
Namun, ia membantah jumlah limitnya mencapai Rp30 miliar.
"Saya sudah cek, di beberapa BUMN. Saya juga sudah cek ke Pertamina. Menurut mereka tidak ada limit kartu kredit mencapai Rp30 miliar baik untuk direksi maupun komisaris," ujar Arya.
Berdasarkan data yang ia dapat, limit kartu kredit hanya Rp50 juta-Rp100 juta. Itu pun hanya digunakan untuk keperluan perusahaan, bukan kebutuhan pribadi.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov berpendapat fasilitas kredit di perusahaan sejatinya merupakan hal yang lumrah. Hampir setiap korporasi memberikan fasilitas itu kepada direksi dan komisaris.
Itu diberikan karena penggunaan kartu kredit akan lebih transparan karena semua transaksi tercatat rinci di sistem. Perusahaan bisa melihat detail penggunaan kartu kredit oleh direksi dan komisaris mereka.
"Terkontrol, teraudit dengan keuangan perusahaan, sehingga untuk beli apa saja, terkait tidak dengan pekerjaan, rekapnya ada karena yang bayar kartu kredit itu kan perusahaan," ungkap Abra.
Kendati begitu, bukan berarti fasilitas kartu kredit tak bisa disalahgunakan oleh direksi dan komisaris. Menurut Abra, kemungkinan itu selalu ada.
"Ini aturan perusahaan harus jelas. Bagaimana membedakan kepentingan pribadi dengan perusahaan," terang Abra.
Karena itu Abra mengatakan pengakuan Ahok ini harus jadi momentum, terutama berkaita dengan efisiensi di tubuh BUMN. Harus ada peraturan ketat terkait penggunaan kartu kredit dari perusahaan ini. Lalu, manajemen juga harus menetapkan limit yang ideal.
Jangan sampai, limit kartu kredit lebih dari kemampuan keuangan BUMN itu sendiri. Apalagi, pandemi covid-19 membuat banyak perusahaan, termasuk pelat merah tertekan.
Belum lagi utang BUMN yang kian menumpuk. Pertamina misalnya, total liabilitas (kewajiban) akhir 2020 naik dari US$35,99 juta menjadi US$37,88 juta.
Kenaikan khususnya disebabkan utang bank jangka panjang perusahaan melonjak dari US$23,75 juta menjadi US$27,19 juta.
Begitu juga dengan liabilitas Telkom yang naik pada kuartal III 2020 lalu dari Rp103 triliun menjadi Rp115,33 triliun. Rinciannya, liabilitas jangka panjang sebesar Rp51,84 triliun dan jangka pendek sebesar Rp63,48 triliun.
Di kondisi seperti ini, BUMN harus bisa memetakan lagi kebutuhan mana yang bisa ditekan.
Kalau perlu, kata Abra, limit kartu kredit diturunkan atau sejalan dengan kinerja perusahaan sekarang.
"BUMN harus evaluasi, jangan sampai kartu kredit tetap digunakan untuk BUMN yang merugi juga," imbuh Abra.
Salah satu yang membuat biaya operasional boros adalah kebutuhan untuk menghibur (entertain) mitra kerja. Kebutuhan itu biasanya menggunakan kartu kredit.
"Penggunaan kartu kredit ini salah satunya barangkali dimanfaatkan untuk entertain. Itu harus dilihat jangan sampai tersembunyi di biaya tak terduga," jelas Abra.