Senada, Pengamat BUMN dari Universitas Indonesia (UI) Toto Pranoto mengatakan fasilitas kartu kredit menjadi hal biasa di banyak perusahaan, termasuk BUMN. Hal ini salah satu tujuannya adalah memudahkan direksi dan komisaris untuk menjamu klien demi kepentingan perusahaan.
Meski begitu, bukan berarti sikap Ahok yang membongkar fasilitas kartu kredit hingga Rp30 miliar dan menghapus fasilitas itu salah. Toto menganggap sikap Ahok menunjukkan bahwa ia khawatir penggunaan kartu kredit tercampur dengan kebutuhan pribadi komisaris dan direksi di Pertamina.
"Jadi pertanggungjawaban di perusahaan sudah oke belum, bisa tidak dibedakan betul-betul antara keperluan korporasi dengan transaksi pribadi," ucap Toto.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk itu, harus ada mekanisme yang tepat terkait teknis sumber dana biaya operasional perusahaan. Toto mengatakan BUMN bisa menggunakan sistem reimburse.
Artinya, pegawai bisa menggunakan uangnya terlebih dahulu untuk memenuhi kebutuhan kantor. Setelah itu, pegawai memberikan bukti bayar untuk mendapatkan uangnya kembali.
"Reimburse lebih mudah dikontrol, jadi pakai bon, nanti dana dikembalikan lagi," ucap Toto.
Hanya saja, sistem reimburse tentu ada kelemahannya. Pegawai perusahaan atau direksi tentu memiliki kemampuan terbatas dalam mengeluarkan uang untuk memenuhi kebutuhan perusahaan.
Dengan demikian, sistem reimburse bisa saja mengganggu kegiatan operasional perusahaan. Misalnya, perusahaan ada keperluan menjamu tamu untuk kelancaran suatu proyek.
Namun, tak semua direksi atau pegawai perusahaan mau mengeluarkan uangnya terlebih dahulu untuk kegiatan tersebut. Dengan begitu, strategi perusahaan pun akan terganggu.
"Jadi harus ada mekanisme untuk pertemukan keduanya, kemudahan untuk direksi dan pertanggungjawaban yang clear, sehingga tidak tercampur kebutuhan pribadi dan kantor," jelas Toto.
Selain itu, BUMN juga harus melihat lagi besaran uang representatif yang diberikan kepada pimpinan perusahaan hingga karyawan. Jika bisa ditekan, tak ada salahnya kalau nominalnya dikurangi.
Toto menekankan fasilitas uang representatif tak salah. Hanya saja, jumlahnya harus disesuaikan dengan kinerja perusahaan.
"Konteks BUMN ini misal mau dibuat slim atau bagaimana. Kalau bisa ditekan," imbuh Toto.
Hal lainnya yang perlu dikaji lagi adalah jumlah anak usaha BUMN yang kian menjamur. Menurut Toto, perusahaan pelat merah sebaiknya memangkas anak usahanya yang tak berhubungan dengan bisnis inti dan tak memberikan kontribusi terhadap kinerja keuangan perusahaan.
"Jadi bisa mengurangi beban operasional dari anak-anak perusahaan yang tidak berhubungan dan performa jelek," jelas Toto.
Ia menambahkan BUMN jangan boros dalam melakukan pengadaan barang untuk suatu proyek. Induk usaha harus berkoordinasi dengan anak hingga cucu usaha terkait barang-barang yang dibutuhkan.
Jika ada yang sama hingga ke cucu usaha, maka pengadaan barang lebih baik dilakukan berbarengan atau dari satu pihak saja. Dengan demikian ongkosnya akan lebih murah.
"Beli banyak jauh lebih murah ongkosnya dibandingkan dengan kuantitas yang sedikit. Jadi mereka beli partai besar, nanti setelah barang ada dibagi-bagi ke anak usaha," pungkas Toto.
(aud/agt)