Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi 1,45 persen pada perdagangan pekan lalu, menutup perdagangan di posisi 6.007. Sementara, investor asing membukukan penjualan bersih (net sell) senilai Rp702,27 miliar.
Pengamat Pasar Modal Riska Afriani menilai pada pekan ini indeks bakal cenderung tertekan akibat maraknya sentimen negatif, seperti melonjaknya kasus covid-19. Pada Minggu (20/6), kasus positif covid-19 secara nasional bertambah 13.737 membuat total kasus di Indonesia menjadi 1.989.909 orang.
Riska menyebut kenaikan kasus yang jauh lebih besar dibandingkan kenaikan di awal tahun ini mau tidak mau bakal memicu pengetatan protokol kesehatan. Bila sudah begitu, ada potensi pemerintah bakal menarik rem darurat dengan memberlakukan penguncian wilayah (lockdown) daerah atau kebijakan serupa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Koreksi dalam indeks sebetulnya sudah mulai terjadi pada akhir perdagangan pekan lalu. Sempat berhembus isu akan dilakukan pembatasan sosial, indeks sempat anjlok ke 5.944 namun berhasil bangkit ke level 6.000-an.
Pekan ini, Riska menyebut akan sulit mempertahankan posisi di level 6.000 di tengah lonjakan kasus covid-19. Pasalnya, dana asing mengalir masuk dikarenakan perekonomian Indonesia terlihat menuju pemulihan, ini ditandai dengan mulai terkendalinya kasus covid-19.
Ia menilai dengan kenaikan drastis kasus covid-19, investor asing bakal menahan dananya sembari melihat penanganan pemerintah. Riska memperkirakan indeks pada pekan ini bakal melaju di rentang 5.870-6.012.
"Saya perkirakan IHSG pekan ini akan turun ke bawah karena ada potensi PSBB segera diberlakukan secara menyeluruh," katanya kepada CNNIndonesia.com, Senin (21/6).
Riska menyebut investor akan kembali berpegang pada mantra cash is the king (uang tunai adalah raja) bila pemerintah memberlakukan pola serupa dengan tahun lalu. Pola yang dimaksud adalah membatasi jam operasional pusat perbelanjaan dan tempat makan, juga membatasi okupansi sebesar 50 persen.
Dikhawatirkan bisnis akan kembali terpukul dan dilakukan pemotongan gaji serta PHK. Bila begitu, pemulihan ekonomi yang diproyeksikan terjadi pada kuartal II ini bisa jadi batal terjadi.
Riska mengatakan koreksi tidak hanya terjadi di pasar modal saja tapi juga di instrumen investasi lain seperti emas dan properti. Sementara iklim pasar sedang tak menentu, ia menilai investor memilih memegang uang tunai.
Di luar negeri, sentimen negatif berasal dari The Fed yang pada pekan lalu mengindikasikan bakal menaikkan suku bunga acuan lebih cepat setahun dari perkiraan. Bank sentral AS memperkirakan suku bunga acuan meningkat pada 2023 mendatang selama dua kali.
Pengetatan kebijakan moneter The Fed berpotensi membuat tapering atau pengurangan pembelian aset oleh bank sentral bakal terjadi lebih awal.
Pada 2013 lalu, saat The Fed melakukan tapering off, terjadi penjualan panik yang dikenal dengan taper tantrum. Dikhawatirkan hal sama bakal kembali terjadi. Bila begitu, diprediksikan bakal terjadi aliran modal keluar (outflow) dari pasar modal dalam negeri.
Cek saham yang direkomendasikan saat kondisi pasar dibayangi risiko lonjakan covid-19 pada halaman berikutnya.