ANALISIS

Darurat Covid-19, Dana PEN Perlu Ditambah hingga Rp1.200 T

Dinda Audriene | CNN Indonesia
Rabu, 23 Jun 2021 07:00 WIB
Ekonom menilai pemerintah perlu menambah alokasi dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dan penanganan covid-19 untuk mengantisipasi lonjakan kasus ke depan.
Meski mendapat alokasi besar, realisasi anggaran PEN dan penanganan covid-19 terbilang lambat. Ilustrasi. (CNN Indonesia/Safir Makki).

Realisasi Lambat

Sementara itu, realisasi anggaran PEN secara keseluruhan baru sebesar Rp226,63 triliun per 18 Juni 2021. Angka itu setara dengan 32,4 persen dari pagu yang sebesar Rp699,43 triliun.

Realisasi untuk bidang kesehatan terbilang sangat rendah di tengah lonjakan kasus covid-19. Jumlahnya cuma 22,9 persen atau Rp39,55 triliun dari pagu Rp172,84 triliun.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan, realisasi untuk diagnostik alias testing dan tracing baru 3,8 persen atau Rp250 miliar dari pagu yang sebesar Rp6,68 triliun. Realisasinya rendah karena masih menggunakan stok reagen test PCR dan rapid antigen yang ada di Kementerian Kesehatan, BNPB, dan hibah dari WHO.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lalu, biaya klaim perawatan tercatat sebesar Rp13,96 triliun atau 43,2 persen dari pagu, insentif dan santunan tenaga kesehatan sebesar Rp4,22 triliun atau 25,1 persen dari pagu, program vaksinasi Rp9,27 triliun atau 15,9 persen dari pagu, BNPB Rp660 miliar atau 77,4 persen dari pagu, bantuan iuran JKN Rp260 miliar atau 10,8 persen dari pagu, serta insentif perpajakan kesehatan Rp3,1 triliun atau 14,9 persen dari pagu.

Untuk bidang lainnya, realisasi perlindungan sosial sebesar Rp64,91 triliun, dukungan UMKM dan korporasi Rp48,05 triliun, program prioritas Rp38,1 triliun, dan insentif usaha Rp36,02 triliun.

Fithra menduga penyerapan dana PEN yang masih rendah disebabkan masalah klasik. Pejabat di lapangan takut mencairkan anggaran cepat-cepat karena tak ingin berurusan dengan KPK.

"KPK atau BPK seharusnya melakukan sosialisasi terkait pencairan anggaran covid-19. Ini harus digencarkan agar bisa efektif," ujar Fithra.

Bhima mengamini pendapat Fithra. Pejabat di lapangan cemas berlebihan untuk mencairkan dana.

Mereka khawatir akan terkena kasus dengan KPK atau BPK jika terlalu cepat mencairkan dana PEN. Hal ini yang membuat pencairan terkadang mundur dan lambat.

"Padahal sudah ada pendampingan di awal, sehingga memastikan tidak ada kesalahan prosedur di lapangan," kata Bhima.

Lalu, pemerintah daerah (pemda) terkadang juga lambat dalam mengeksekusi anggaran PEN di daerah. Namun, sikap pemda bukan tanpa alasan.

Menurut Bhima, pemda terkadang sengaja memperlambat belanjanya sebagai bentuk antisipasi pencairan dana dari pusat mundur dari jadwal. Dengan demikian, pemda menunda eksekusi belanja.

"Takutnya nanti sudah eksekusi, belanja didorong, tapi nanti pas habis dananya, dana selanjutnya dari pusat belum cair. Itu beberapa daerah harus dicermati," terang Bhima.

Kemudian, ia juga menduga pemerintah pusat sengaja menahan belanja PEN pada semester awal. Hal ini dianggap sebagai strategi pemerintah demi mengamankan dana hingga akhir tahun.

"Khawatirnya ketersediaan dana pemerintah untuk melaksanakan program lain terganggu, karena pajak juga penerimaannya berpotensi terus turun," ucapnya.

Untuk itu, Bhima menyarankan agar komunikasi antara pemerintah pusat dan daerah semakin erat. Jangan sampai pemerintah pusat menyalahkan pemerintah daerah terkait lambatnya pencairan dana PEN.

Jangan sampai pula pemerintah daerah khawatir terhadap pencairan dana dari pusat. Pasalnya, hal ini akan mempengaruhi pemerintah daerah membelanjakan anggaran mereka.

"Yang penting koordinasi pemerintah daerah dengan pemerintah pusat untuk perbaiki penyerapan dana PEN, jangan saling menyalahkan," pungkas Bhima.



(sfr)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER