Pemerintah tengah meminta persetujuan DPR untuk mengerek tarif pajak bagi orang kaya dengan penghasilan di atas Rp5 miliar, yaitu dari 30 persen menjadi 35 persen. Alasannya, mulai dari meningkatkan keadilan hingga menambah pundi-pundi APBN yang terlanjur 'boncos' selama pandemi covid-19.
Dari sisi keadilan, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut pemerintah sebenarnya kesulitan dalam mengejar pajak orang kaya. Menurut catatannya, sumbangan pajak dari orang kaya dengan tarif pajak 30 persen cuma 1,42 persen dari total wajib pajak orang pribadi (WP OP).
Sementara orang super kaya dengan penghasilan di atas Rp5 miliar, sumbangan pajaknya cuma 0,03 persen dari total. Apabila diakumulasi, nominalnya sekitar Rp84,6 triliun dalam lima tahun terakhir.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ani, sapaan akrabnya, menduga hal ini terjadi karena banyaknya insentif fiskal dari pemerintah. Begitu juga dengan lapisan tarif pajak yang masih terlalu sedikit di Indonesia, yaitu empat lapis. Sementara di Malaysia, tarif pajak sampai 11 lapis.
Ekonom CORE Indonesia Piter Abdullah Redjalam sependapat dengan hal ini. Ia menuturkan rendahnya pembayaran pajak dari para orang kaya memang sedikit banyak terjadi karena banjirnya insentif pajak dari pemerintah sendiri.
"Orang kaya itu, kayanya, ya juga karena insentif yang diberikan pemerintah, tidak hanya dari kekayaan mereka sendiri, dan tidak hanya saat pandemi saja (banjir insentifnya), dari dulu juga demikian," jelas Piter kepada CNNIndonesia.com, Senin (28/6).
Tapi ini bukan satu-satunya penyebab karena ada faktor lain yang mempengaruhi. Pertama, administrasi yang sulit. Tentu sudah jadi rahasia umum bila administrasi dan birokrasi di Indonesia relatif sulit, maka wajar saja bila pemerintah selama ini berusaha untuk terus mereformasi birokrasi, termasuk di bidang perpajakan.
Cara lapor, cara bayar, hingga pemeriksaan yang berbelit-belit juga menjadi salah satu hal yang turut mempengaruhi realisasi pembayaran pajak orang kaya rendah di Indonesia.
Kedua, kedisiplinan membayar pajak."Mereka (orang kaya) sebenarnya bayar pajak, tapi banyak yang belum bayar pajak sebesar yang seharusnya. Ini yang kemudian menjadi target Kemenkeu," imbuhnya.
Menurut Piter, hal ini terjadi juga karena pengaruh sulitnya administrasi di dalam negeri. Kemudian juga dipengaruhi tingkat kesenjangan ekonomi dan kemajuan pendidikan masyarakat.
"Di negara maju, yang pendidikannya lebih tinggi dan kesenjangannya lebih rendah, kesadaran membayar pajaknya lebih baik. Ini didukung juga dengan administrasi yang baik dan kedisiplinan, sehingga tax ratio lebih tinggi daripada di sini," katanya.
Pada 2013, misalnya, tax ratio Indonesia berada di kisaran 11,4 persen. Ndilalah, bukannya naik, rasio pajak masyarakat justru terus menurun dari tahun ke tahun. Puncaknya pada akhir 2020, Kementerian Keuangan memperkirakan tax ratio atau tingkat pembayaran pajak di Indonesia sekitar 8,3 persen karena tertekan dampak pandemi covid-19.
"Masalahnya, menaikkan tax ratio tidak bisa dalam waktu pendek, tapi pemerintah butuh penerimaan pajak yang meningkat dalam waktu singkat. Makanya kemudian pemerintah mencari jalan pintas dengan menaikkan tarif pajak bagi orang kaya," ucapnya.
Atas berbagai kondisi perpajakan saat ini, Piter menilai pemerintah memang perlu menaikkan tarif pajak bagi orang kaya maupun menambah lapisan tarif pengenaan pajak. Tapi, jurus ini sejatinya tidak cukup bila masalah administrasi, kedisiplinan, dan kepatuhan tadi tidak ikut ditingkatkan.
"Perlu tambahan upaya lain seperti memperbaiki administrasi, meningkatkan kesadaran membayar pajak, hingga melakukan pemeriksaan. Wajar bila pemerintah ingin menambah layer pajak karena Indonesia memang sedikit dibandingkan negara-negara peers kita, seperti Malaysia, Thailand, dan lainnya," ungkapnya.