Senada, Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal juga menilai masalah kepatuhan menjadi sumber dari rendahnya setoran pajak dari para orang kaya di Indonesia. Namun, ia tidak serta merta setuju dengan rencana pemerintah untuk mengerek tarif pajak dalam waktu singkat.
Pertimbangannya, kebijakan ini bisa sangat mempengaruhi tingkat kepercayaan para 'orang tajir' untuk melakukan konsumsi. Padahal, konsumsi mereka sangat diperlukan saat ini, khususnya di era pandemi covid-19 dan pemulihan ekonomi.
Kenapa? Sebab, 20 persen kelompok pendapatan paling tinggi menyumbang hampir 50 persen dari total konsumsi masyarakat Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara, kelompok 40 persen pendapatan terendah yang selama ini banyak menikmati stimulus dari pemerintah, seperti bansos dan subsidi, sejatinya cuma menyumbang 15 persen sampai 17 persen dari total konsumsi masyarakat.
"Maka penting untuk tetap menjaga ekspektasi kelompok pendapatan tinggi ini demi mendorong pemulihan ekonomi sepanjang 2021. Apalagi, konsumsi masih terhitung menjadi kontributor terbesar untuk pertumbuhan ekonomi," tutur Fithra.
Menurut Fithra, pemerintah perlu menunggu momentum yang lebih tepat untuk mengerek tarif pajak para orang kaya.
Meskipun disadarinya, rencana kebijakan ini terbilang wajar karena kepatuhan masih rendah dan APBN sudah terlalu 'boncos' menanggung pendanaan untuk penanganan dampak pandemi dan pemulihan ekonomi.
Bahkan, menurut hitung-hitungannya, jika kebijakan ini dilakukan dalam waktu cepat ketika ekonomi Indonesia belum benar-benar pulih, dampaknya justru mengontraksi pertumbuhan sebesar 0,18 persen.
Selain itu, kebijakan ini berpotensi menggerus pendapatan masyarakat sekitar 0,4 persen dan meningkatkan pengangguran sekitar 0,27 persen.
Untuk itu, ia mewanti-wanti agar kebijakan mengerek pajak orang kaya bisa menunggu momentum yang tepat setelah ekonomi benar-benar pulih.
"Yang jelas jendela kesempatan masih terbuka, peluang pulih tetap tersedia asalkan strategi tetap sejalan dengan momentum," pungkasnya.