Pembelian barang secara besar-besaran (panic buying) terjadi di tengah lonjakan kasus corona belakangan ini. Akibat kepanikan itu, persediaan obat, alat kesehatan dan produk yang dianggap bisa menjaga imunitas seperti susu beruang hingga kelapa hijau menipis dan bahkan habis di pasaran.
Akibatnya, harga komoditas tersebut melonjak. Untuk Susu Beruang saja misalnya, netizen ada yang menyebut harganya yang biasanya dijual di kisaran Rp10 ribu tiba-tiba melonjak jadi Rp50 ribu per kaleng.
Sementara itu untuk kelapa hijau, harga yang dalam kondisi normal dipatok Rp15 ribu melonjak dua kali lipat menjadi Rp30 ribu per butir.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan pemerintah tak boleh membiarkan kondisi itu berlangsung terus menerus karena tidak baik. Sebab kalau dibiarkan, panic buying yang dibiarkan dan terus menjadi bisa mengancam perekonomian dari sisi inflasi.
Memang, inflasi saat ini masih terbilang rendah. Data Badan Pusat Statistk (BPS) mencatat inflasi tahun berjalan baru 0,74 persen dari Januari-Juni 2021.
Sementara inflasi tahunan 1,33 persen, masih jauh dari target pemerintah 2 persen sampai 4 persen. Bahkan, indeks harga konsumen (IHK) justru menunjukkan penurunan harga alias deflasi sebesar 0,16 persen pada Juni 2021.
Tapi, menurut Bhima, bila dibiarkan, bukan tidak mungkin panic buying benar-benar mengerek inflasi. Apalagi, kenaikan harga untuk obat-obatan hingga alat kesehatan, seperti tabung oksigen sampai 100 persen hingga 200 persen.
"Efeknya kalau dibiarkan, inflasi lebih tinggi, padahal kenaikannya semu. Ini akan memukul masyarakat yang benar-benar membutuhkan barang, misalnya oksigen," ucap Bhima kepada CNNIndonesia.com, Senin (5/7).
Tak cuma inflasi, panic buying juga bisa mempengaruhi indikator ekonomi lainnya, seperti tingkat konsumsi hingga kemiskinan. Namun, ia belum memiliki hitungan soal angka pasti terkait dampak terhadap berbagai indikator ini.
Oleh karena itu, Bhima meminta pemerintah segera mengatasi panic buying. Bagaimana caranya?
Bhima mengatakan hal paling sederhana adalah dengan memastikan semua stok barang-barang yang dicari masyarakat mulai dari barang penting bagi kesehatan hingga bahan pokok, seperti beras, daging, jagung, dan lainnya aman dan ada dengan harga yang normal.
Untuk itu katanya, pemerintah perlu melakukan intervensi dengan menjaga proses distribusi. Itu menjadi kunci dalam mencegah terjadinya panic buying.
"Tapi di luar itu, seperti susu beruang dan kelapa hijau sepertinya pemerintah tidak perlu intervensi," imbuhnya.
Setelah stok dan distribusi aman, selanjutnya pemerintah perlu juga turun tangan menentukan harga.
Pemerintah bisa membuat harga eceran tertinggi (HET) bagi barang-barang yang riskan menjadi objek panic buying masyarakat.
Hal ini bukan saja untuk memberikan harga yang wajar di tengah tingginya kebutuhan masyarakat karena harus menambah pengeluaran di bidang kesehatan, tapi juga menutup celah permainan dari oknum tak bertanggung jawab yang ingin mencari cuan lebih di tengah kepanikan masyarakat.
Saat ini, pemerintah setidaknya sudah membuat patokan harga untuk 11 obat dan beberapa alat kesehatan. Namun, menurut Bhima, hal ini bisa diperluas lagi hingga ke ranah sanksi atau hukuman.
"Tegaskan saja kalau ada pedagang obat yang di atas HET, tindak lanjuti dan berikan sanksi keras agar ada efek jera. Sanksi hukum dan pelaku dipublikasikan di depan umum," ujarnya.
Terakhir yang tak kalah penting adalah melakukan pengawasan ketat. Caranya bisa dengan melakukan sidak ke sentra produksi dan distribusi vital di masing-masing daerah.
"Lakukan sidak di tempat yang vital misalnya gudang produksi, pelabuhan sampai di pasar agar praktik penimbunan bisa dideteksi cepat," katanya.