Institute for Essential Services Reform (IESR) melalui laporan terbaru yang berjudul Deep Decarbonization of Indonesia's Energy System: A Pathway to Zero Emissions by 2050 menyatakan bahwa Indonesia secara teknis dan ekonomis mampu mencapai nir emisi di sektor ketenagalistrikan pada 2045 mendatang, jauh lebih cepat daripada sektor transportasi dan industri yang akan mencapai kondisi serupa pada 2050.
Eksekutif Direktur IESR Fabby Tumiwa menyebut, dibandingkan sektor transportasi dan industri, sektor ketenagalistrikan menjadi bagian yang membutuhkan upaya paling sedikit dalam dekarbonisasi sistem energi Indonesia. Namun, dia menegaskan, ada empat syarat yang harus dipenuhi pemerintah sebelum 2045.
"Satu dekade ini sangat menentukan. Ada empat hal yang perlu terjadi dalam satu dekade mendatang, akselerasi energi terbarukan, penghentian pembangunan PLTU batu bara baru sebelum 2025, merencanakan percepatan penghentian PLTU terutama berjenis subcritical, dan modernisasi grid (jaringan)," papar Fabby.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ditambahkan, jika akselerasi pemanfaatan kendaraan listrik dan industri dilakukan bersamaan dengan proses dekarbonisasi mendalam pada sektor ketenagalistrikan, penurunan emisi GRK sektor tersebut akan berkontribusi terhadap pengurangan emisi yang signifikan pada sektor transportasi dan industri.
Lebih jauh, melalui Skenario Kebijakan Terbaik (Best Policy Scenario/BPS) diungkapkan bahwa permintaan listrik dari sektor transportasi dan industri terus meningkat sampai tahun 2050. 140 GW pembangkit listrik energi terbarukan akan memproduksi sekitar 50 persen listrik, sebelum mencapai 100 persen energi terbarukan pada 2045.
"Di skenario tersebut, biaya pembangkitan listrik diratakan (levelized cost of electricity/LCOE) dapat turun dari 79,52 USD/MWh di tahun 2020 menjadi 40,59 USD/MWh di tahun 2050 sehingga biaya pembangkitan listrik dari energi terbarukan di Indonesia menjadi semakin kompetitif," kata Fabby.
Meski variabilitas pembangkitan listrik PLTS (pembangkit listrik tenaga surya) cukup tinggi, permodelan IESR menjamin ketersediaan pasokan listrik dengan mengandalkan energi surya. Sementara untuk menyeimbangkan kebutuhan beban dan pembangkitan PLTS, ada beberapa cara yang dapat diterapkan, seperti pengisian baterai dan pemanfaatan pumped hydro energy storage, pemanfaatan listrik untuk pengadaan energi panas, serta melakukan ekspor-impor listrik antar regional.
"Pembangkit listrik tenaga air juga dapat dioperasikan secara fleksibel selama periode ini untuk membantu kesetimbangan sistem, sementara panas bumi beroperasi sebagai baseload," ujar Fabby lagi.
Guna mendukung sistem interkoneksi jaringan listrik antarpulau dan mengoptimalkan sumber daya energi terbarukan yang tersebar di berbagai pulau Indonesia, IESR mengajukan rekomendasi agar pemerintah meningkatkan kapasitas jaringan listrik.
Menurut Fabby, interkoneksi Jawa dan Sumatera menjadi penting untuk memasok listrik ke Jawa, mencapai 50 persen pada 2050. Interkoneksi antara Jawa Timur dan Bali juga dinilai perlu diperluas sampai ke Nusa Tenggara. Tujuannya, memenuhi kebutuhan listrik di pulau-pulau kecil.
Rekomendasi tersebut didukung skenario BPS yang menunjukkan bahwa hampir 760 TWh listrik didistribusikan ke seluruh negeri pada 2050, dengan Pulau Jawa sebagai konsumen energi utama mencapai 80 persen. Jawa disebut akan mengimpor listrik sebesar 4,6 persen pada 2030, 45,5 persen pada 2040, dan 82,1persen pada 2050 dari Pulau Sumatera dan Nusa Tenggara.
Fabby menyatakan, hasil model IESR bahwa menunjukkan pada 2050 akan lahir kebutuhan untuk membangun kapasitas transmisi sebesar 158 GW demi menghubungkan Indonesia dari barat ke timur.
Pamela Simamora selaku penulis utama laporan Deep Decarbonization of Indonesia's Energy System: A Pathway to Zero Emissions by 2050 berharap, pemerintah segera membuat keputusan terkait kapasitas jaringan listrik tersebut. Kecepatan penetapan keputusan akan berpengaruh terhadap proses transisi serta biaya yang dibutuhkan.
"Jika akan terus mengembangkan PLTU batu bara padahal sudah banyak penelitian yang mengungkapkan hal tersebut akan menjadi stranded asset (aset terdampar), maka akan menjadi beban ekonomi bagi Indonesia. Padahal dekarbonisasi mendalam sistem energi untuk capai bebas emisi justru menguntungkan bagi Indonesia," ungkap Pamela.
Hal ini dinilai semakin urgen karena pembangunan proyek jaringan transmisi biasanya membutuhkan waktu lama. Untuk itu, Pamela menegaskan bahwa pemerintah, pengambil kebijakan, regulator, juga PLN sebagai operator utama jalur transmisi dan distribusi harus memiliki komitmen kuat.
Sebelumnya, pada Mei lalu PLN menyatakan tengah menyusun rencana strategis bersama Kementerian ESDM guna mencapai netral karbon pada 2060. Fabby mengatakan, hal itu tak sejalan dengan target Persetujuan Paris untuk net zero emissions pada 2050, bahkan kurang ambisius.
"Kajian IESR menunjukkan sektor listrik bisa capai zero emissions pada 2045 dengan memanfaatkan energi terbarukan. Justru rencana tersebut akan berisiko menyebabkan kenaikan biaya penyediaan listrik, stranded asset and lost opportunity untuk penggunaan teknologi energi terbarukan yang lebih murah," ujar Fabby.
Untuk diketahui, Persetujuan Paris merupakan kesepakatan internasional berbasis hukum guna mengurangi emisi gas rumah kaca yang dimulai pada 2020, dengan poin utama untuk menjaga ambang batas suhu bumi di bawah dua derajat Celcius, serta berupaya menekan hingga 1.5 derajat Celcius di atas suhu bumi pada masa pra-industri.
Sektor energi terbarukan sendiri berkembang pesat dalam dua dekade terakhir, baik dari sisi teknologi maupun ekonomi. Dalam rentang tahun 2000 sampai 2020, kapasitas pembangkit listrik terbarukan di seluruh meningkat 3,7 kali lipat, dari 754 GW menjadi 2.799 GW. Pada level global, perkembangan tersebut turut didorong oleh pembangunan PLTS dan pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB).
(rea)