Ekonom dari Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi mengatakan rendahnya serapan dana penanganan covid-19 mengindikasikan bahwa pemda masih menggunakan model belanja anggaran seperti biasa alias business as usual.
Padahal, berulang kali Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta semua kementerian/lembaga (K/L) maupun pemda untuk menggunakan strategi extraordinary dalam menangani pandemi.
"Ini menunjukkan bahwa pemda, dalam hal ini secara umum, penangannya atau model pembelanjaan uangnya untuk bansos dan hal-hal yang terkait covid itu masih business as usual, belum disesuaikan dengan peradigma kedaruratan," katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meksipun, lanjutnya, ada sejumlah pemda yang pola belanjanya melebihi rata-rata nasional. Catatan Kemendagri, sejumlah provinsi yang memiliki serapan di atas rata-rata nasional yakni Jawa Timur sebesar Rp407,16 miliar setara 61,2 persen, Sumatera Utara Rp401,08 miliar setara 40,36 persen, dan Kalimantan Timur Rp251,93 miliar setara 63,24 persen.
Lalu, Nusa Tenggara Timur senilai Rp67,21 miliar setara 66,1 persen, Kalimantan Selatan Rp157,79 miliar setara 47,45 persen, dan Sulawesi Selatan Rp187,13 miliar setara 34,57 persen.
"Tapi, kalau kita bandingkan secara umum, maka ini bisa kita katakan bahwa variasi kapasitas birokrasi daerah-daerah ini sangat tinggi. Ada yang efisien, ada yang tidak. Nah, ini menjadi sebuah kelemahan yang terkuak saat krisis," ujarnya.
Namun, ia menyatakan pemda bukan satu-satunya sumber permasalahan. Pasalnya, jika bicara tentang dana penanganan covid-19, maka ada andil pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Sosial.
Fithra mengatakan Kementerian Sosial hendaknya mempercepat pembaharuan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dengan cara-cara yang proaktif kepada pemda. Apalagi, kata dia, DTKS cenderung dinamis bertambah setiap saat sejalan dengan lonjakan kasus covid-19.
Pasalnya, data tersebut menjadi rujukan bagi semua bansos baik reguler maupun program bantuan baru di tengah pandemi.Tanpa data valid, penyaluran dana penanganan covid-19 terus tertunda.
"Dalam melakukan pemutakhiran data, ini mereka juga harus secara agresif turun ke lapangan tapi bukan hal yang sangat mikro ya. Kementerian Sosial harus melakukan pendampingan pemutakhrian data, itu yang paling penting supaya mencegah inclusion dan exclusion error," ucapnya.
Lihat Juga : |
Sebelumnya, salah satu provinsi dengan serapan rendah yang sempat menjadi sorotan publik adalah Jawa Tengah. Data Kemendagri mengungkapkan serapan Jateng termasuk terendah kedua yakni Rp164,62 miliar setara 0,15 persen.
Namun, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo menegaskan serapan anggaran covid-19 Jateng bukan 0,15 persen. Ia menyatakan sudah mencapai Rp49,04 miliar setara 17,28 persen per 24 Juli 2021.
"Ini penting untuk clearance, karena kemarin bully sudah terjadi, hoaks sudah terjadi, orang bertanya, saya jelaskan. Ada media yang nulis, sayangnya tidak wawancara saya, maka ini banyak yang bertanya, saya kasih data ini," kata Ganjar dikutip dari keterangan resmi dari laman website Pemprov Jateng.
Salah satunya penggunaan dana adalah pemberian insentif nakes yakni Rp39,89 miliar setara 66,31 persen dari alokasi. Ganjar menuturkan realisasi 17,28 persen hanya catatan anggaran yang sudah dibayarkan, namun belum meliputi kegiatan sedang berjalan dan dalam proses pengadaan.