HUT RI KE-76

Ironi, Merdeka di Atas 27 Juta 'Perut Lapar'

Yuli Yanna Fauzie | CNN Indonesia
Jumat, 13 Agu 2021 08:18 WIB
Ekonom menilai pandemi covid-19 telah merusak upaya pemerintah dalam tiga tahun terakhir yang berhasil membuat angka kemiskinan menjadi single digit.
Ekonom menilai pandemi covid-19 telah merusak upaya pemerintah dalam tiga tahun terakhir yang berhasil membuat angka kemiskinan menjadi single digit. Ilustrasi. (CNN Indonesia/Safir Makki).
Jakarta, CNN Indonesia --

Indonesia genap berusia 76 tahun pada 17 Agustus 2021, setelah merdeka dari belenggu penjajah selama ratusan tahun pada 1945 silam. Meski sudah merdeka secara hukum, namun Indonesia masih terjerat dalam jurang kemiskinan.

Lihatlah, data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ada 27,54 juta orang miskin di Tanah Air per Maret 2021. Jumlah ini setara 10,14 persen dari total penduduk Indonesia.

Dari sisi angka, jumlah penduduk miskin sudah menyusut sejak 10 tahun terakhir yang tadinya 30,02 juta atau setara 12,49 persen. Tetapi, di sisi lain, ini juga berarti bahwa pengurangan orang miskin sebanyak 3,5 juta membutuhkan waktu 10 tahun. Tidak sebentar.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebetulnya, Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet menuturkan pemerintah sempat berhasil mencetak rekor penurunan tingkat kemiskinan.

Pada Maret 2018 lalu, tingkat kemiskinan untuk pertama kalinya turun ke satu angka menjadi 9,82 persen atau sebanyak 25,95 juta orang miskin. Bahkan, penurunan ini berlanjut sampai September 2019 menjadi 9,22 persen atau sebanyak 24,79 juta.

"Kemudian, covid-19 muncul dan mengerek tingkat kemiskinan kembali seperti 3 tahun lalu. Pandemi covid-19 yang terjadi satu tahun lebih telah menghilangkan upaya pemerintah dalam menurunkan kemiskinan selama tiga tahun," tuturnya kepada CNNIndonesia.com, awal bulan ini.

Tercatat, jumlah penduduk yang semula 24,79 juta orang langsung naik menjadi 26,42 juta orang pada Maret 2020. Kemudian, naik lagi menjadi 27,55 juta orang pada September 2020 hingga akhirnya turun tipis ke 27,54 juta orang per Maret 2021.

Yusuf menilai kenaikan jumlah orang miskin akibat pandemi covid-19 ini wajar. Toh, pemerintah memang membatasi mobilitas masyarakat dan kegiatan ekonomi demi menekan penyebaran virus corona.

Akibatnya, banyak perusahaan mengurangi produksi atau aktivitas mereka yang berbuntut pada tergerusnya pendapatan, yang diikuti dengan efisiensi, termasuk gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).

Imbasnya, orang yang sebelumnya masuk kelompok rentan miskin menjadi miskin. Tidak sedikit pula pengusaha bangkrut dan mendadak jatuh miskin. "Bersamaan dengan itu, pandemi covid-19 mengungkapkan kekurangan pemerintah dalam menyalurkan bansos kepada masyarakat," terang dia.

Walhasil, peningkatan jumlah orang miskin semakin tak terbendung, sekalipun bansos dari pemerintah mengalir. Yusuf mencontohkan program bansosnya baik, namun Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) di Kementerian Sosial ternyata belum diperbarui.

Tak heran, kata Yusuf, jumlah penerima bansos 'itu lagi, itu lagi'. Belum tentu juga tepat sasaran dan tidak mampu menyelamatkan orang miskin baru. "Banyak pemda yang tidak konsisten dalam melakukan update data. Padahal, data menjadi penting, untuk memastikan bantuan tersalurkan dengan tepat," katanya.

Kekurangan lain yang membuat bansos kurang taji untuk menumpas kemiskinan, menurut Ekonom Celios Bhima Yudhistira, rancangan sejumlah program kurang tepat. Sebut lah, Kartu Prakerja dan Bantuan Subsidi Upah atau BLT Subsidi Gaji.

Alasannya, masyarakat miskin perlu dana segar untuk bertahan hidup. Sementara, program bansos di atas memaksa masyarakat bermodal pulsa untuk kuota internet demi mengikuti pelatihan online sebagai syarat mendapatkan insentif.

"Sedangkan, rumah tangga miskin yang memiliki gadget atau fasilitas internet memadai untuk ikut program seperti Kartu Prakerja juga terbatas," imbuhnya.

Sementara BLT Subsidi Gaji diberikan kepada peserta aktif BPJS Ketenagakerjaan. Padahal, pekerja yang kesulitan justru banyak dari sektor informal, yang umumnya tidak menjadi peserta asuransi sosial milik pemerintah tersebut.

Faktor lainnya, sambung dia, besaran bansos masih jauh dari ideal. Misalnya saja, bansos tunai atau BLT sebesar Rp300 ribu per penerima per bulan. Padahal, garis kemiskinan Indonesia Rp472 ribu per kapita per bulan pada Maret 2021.

Ambil contoh, satu keluarga terdiri dari tiga orang, maka untuk bertahan hidup kebutuhan dananya harus di atas garis kemiskinan atau sebesar Rp1,4 juta per keluarga. "Nah ini Rp300 ribu, sangat tidak memadai," jelasnya.

Bahkan, jika diakumulasi pun, anggaran perlindungan sosial program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) cuma Rp187,84 triliun, termasuk anggaran bansos tambahan kebijakan PPKM Level 4.

"Itu cuma 1,1 persen dari PDB Indonesia. Indonesia adalah negara dengan dana perlindungan sosial yang relatif kecil dibandingkan negara-negara lainnya, baik sebelum pandemi maupun pada saat pandemi," ungkapnya.

Alasan lain, penyaluran bansos sangat lambat. Realisasi BLT Dana Desa misalnya, yang baru Rp5,9 triliun atau 20,48 persen dari pagu Rp28,8 triliun per 15 Juli 2021. Padahal, program ini bukan hal baru. Program ini sudah berjalan sejak tahun lalu. Anggarannya pun sudah tersedia.

"Jadi selama ini ngapain saja dari Januari sampai Juli 2021? Ini juga yang membuat bansos menjadi kurang efektif mengatasi kemiskinan," ujar Bhima.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengumumkan realisasi penggunaan dana pemulihan ekonomi nasional (PEN) baru mencapai Rp305,5 triliun pada Juli 2021.

Realisasinya baru mencapai 41 persen dari pagu Rp744,75 triliun. "Untuk program pemulihan ekonomi, realisasi sampai Juli sudah mencapai Rp305,5 triliun atau 41 persen dari total Rp744,75 triliun," kata Airlangga saat konferensi pers virtual, Senin (2/8).

Rincian realisasi terdiri dari penggunaan dana untuk program kesehatan sebesar Rp65,5 triliun dari pagu Rp214,95 triliun. Lalu, realisasi untuk program perlindungan sosial sebesar Rp91,84 triliun dari pagu Rp187,84 triliun.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani menambahkan anggaran PEN sekitar Rp55,21 triliun dari Rp699,43 triliun menjadi Rp744,75 triliun. Penambahan sengaja dilakukan untuk mengantisipasi dampak dari kebijakan PPKM Level 4.

Berlindung di Balik Pandemi

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER