Faisal Basri Ungkap Bahaya Tumpukan Utang Bagi Kedaulatan RI

CNN Indonesia
Senin, 28 Jun 2021 20:23 WIB
Ekonom Faisal Basri mengatakan tumpukan utang bisa memberikan risiko bagi kedaulatan RI. Itu bisa terjadi kalau RI sampai gagal bayar utang.
Faisal Basri mengingatkan pemerintah tumpukan utang negara bisa memberikan risiko terhadap kedaulatan negara. Terutama bila Indonesia sampai gagal bayar utang. (Gentur Putro Jati).
Jakarta, CNN Indonesia --

Ekonom Senior Faisal Basri mengungkapkan risiko atas utang negara  yang menggunung saat ini. Risiko itu bisa muncul bila Indonesia gagal membayar utang (default).

Ia mengatakan risiko besar jika itu terjadi adalah ancaman pada kedaulatan RI.

Ia menuturkan ancaman tersebut bisa terjadi karena jika sampai Indonesia gagal bayar utang, maka harus meminta talangan kepada Dana Moneter Internasional (IMF).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kalau default risikonya adalah berutang makin susah. Tidak ada lagi yang mau kasih utang, atau masuk UGD. Artinya masuk program penyehatan di IMF. Karena nanti kita minta tolong IMF, tolong IMF talangin kami, dikasih sama dia talangan untuk membayar utang," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Senin (28/6).

Dalam memberikan 'pertolongan' IMF akan memberlakukan banyak persyaratan. Nah, syarat inilah yang berpotensi mengganggu kedaulatan RI.

Kondisi serupa ini kata Faisal, pernah terjadi pada krisis ekonomi 1998 silam. Sebagai pengingat, Indonesia pernah menandatangani Letter of Intent (LoI) dengan IMF sebagai wujud kesepakatan  mereka untuk membantu memulihkan Indonesia akibat krisis moneter.

Sayangnya, setelah penandatanganan LoI kondisi Indonesia malah semakin buruk dan rupiah terpuruk.

[Gambas:Video CNN]

"Tapi, kita harus menaikkan harga BBM, harus begini begini, kan syaratnya banyak, seperti letter of intent seperti krisis yang lalu, itu mengharu biru. Jadi dia mendikte kita harus ini harus ini, kedaulatan sudah terpangkas. Jadi jangan sampai itu terjadi, kita didikte," imbuhnya.

Namun begitu, ia mengaku belum memiliki prognosa soal potensi default utang Indonesia. Sebelumnya, kekhawatiran pemerintah tidak bisa membayar utang disampaikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Pasalnya, rasio utang Indonesia terhadap penerimaan sudah tembus 369 persen atau jauh di atas rekomendasi International Debt Relief (IDR) yang hanya sebesar 92-176 persen dan rekomendasi Dana Moneter Internasional (IMF) sebesar 90-150 persen.

"Saya tidak punya perhitungannya karena variabelnya banyak sekali. Yang jelas utang itu semakin membebani negara, semakin membebani APBN, bunganya naik terus. Sudah jauh di atas negara raja utang," ujarnya.

Dalam kesempatan Faisal memperingatkan agar pemerintah berhati-hati dalam mengelola utang. Pasalnya, mayoritas atau 85 persen komponen utang berasal dari pasar uang, sehingga bisa mengancam stabilitas makro ekonomi khususnya pelemahan nilai tukar rupiah.

"Misalnya Indonesia makin tidak becus tangani covid-19, akibatnya pemulihan ekonomi semakin lambat. Kalau pemulihan ekonomi lambat artinya kemampuan pemerintah untuk bayar utang makin turun. Nah, asing bilang jangan-jangan pemerintah tidak bisa bayar utang sebentar lagi. Nah, di situlah asing akan jual surat utangnya, akan menjual sahamnya yang membuat rupiah anjlok, tapi kan akar masalahnya utang semakin banyak," jelasnya.

Kondisi ini berbeda dengan komposisi utang pada orde lama dan baru yang sepenuhnya berasal dari pinjaman luar negeri, baik dari lembaga keuangan internasional maupun bilateral. Skema pinjaman tersebut memberikan peluang kepada Indonesia untuk melakukan penjadwalan ulang pembayaran utang (restrukturisasi) atau penundaan.

"Bahayanya kalau utang di pasar yang sekarang 85 persen itu, kita tidak bisa minta penjadwalan, tidak bisa karena banyak investornya ratusan. Nah, di situlah kredibilitas kita hancur kalau tidak bisa bayar cicilan dan bunganya. Jadi, lebih berbahaya kita pinjam ke pasar karena tidak ada penjadwalan ulang," jelasnya.

Kementerian Keuangan mencatat jumlah utang pemerintah Indonesia sebesar Rp6.418,15 triliun atau setara 40,49 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) per akhir Mei 2021.

Jumlahnya turun Rp109,14 triliun dalam sebulan terakhir dari Rp6.527,29 triliun atau 41,18 persen dari PDB pada akhir April 2021. Namun bila dibandingkan dengan Mei 2020, jumlah utang pemerintah naik Rp1.159,58 triliun dari Rp5.258,57 triliun atau 32,09 persen dari PDB.

(ulf/agt)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER