Salah satu indikator yang bisa digunakan untuk mengukur kemampuan daya beli masyarakat adalah tingkat inflasi. Imbas pandemi, Indonesia mengalami deflasi tiga bulan berturut-turut terjadi yakni minus 0,1 persen pada Juli 2020, minus 0,05 persen pada Agustus 2020, dan minus 0,05 persen pada September 2020.
BPS merekam kejadian itu merupakan deflasi berturut-turut pertama kalinya sejak 1999 lalu. BPS juga mengkonfirmasi bahwa catatan itu menunjukkan daya beli masyarakat Indonesia melemah akibat pandemi.
"Ini menunjukkan daya beli kita masih sangat-sangat lemah. Selama kuartal III 2020, daya beli masih lemah. Bahkan, inflasi April-Mei yang ada Ramadan dan Idul Fitri lemah," ujar Suhariyanto.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Inflasi perlahan merangkak mulai akhir 2020 lalu. Memasuki 2021, inflasi cenderung fluktuatif dengan catatan tertinggi pada Mei 2021 sebesar 0,32 persen dan terendah pada Juli 2021 0,08 persen.
Melihat angkanya, Tauhid menilai tingkat inflasi masih relatif rendah, sehingga belum kembali ke titik normal. Hal ini didasari fakta bahwa permintaan barang kebutuhan pokok dan non pokok dari masyarakat belum stabil karena kasus covid-19 juga masih naik turun.
"Ketika permintaan bahan pokok dan bahan makanan yang biasanya rutin tinggi, lalu turun, sementara supply tetap, maka otomatis inflasi akan turun, ini yang terjadi di kita. Sebaliknya, jika ada perbaikan ekonomi maka permintaan barang dan jasa kembali naik, otomatis inflasi mengikuti. Tetapi, inflasi akan turun lagi jika pandemi bertambah, karena masyarakat terpaksa kurangi konsumsinya," ujarnya.
Dunia usaha juga tidak luput dari terjangan badai pandemi. Untuk menggambarkan kondisinya, dapat digunakan Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur karena sektor ini menyerap banyak tenaga kerja sekaligus memberikan efek pengganda (multiplier effect) kepada sektor lainnya.
Faktanya, PMI manufaktur langsung nyungsep pada April 2020 ke level 27,5 ketika PSSB mulai diberlakukan. Bulan sebelumnya, PMI manufaktur masih bertengger di posisi 45,3.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan angka tersebut merupakan yang terburuk sejak 2011, sekaligus terparah di Asia pada periode yang sama.
"Angkanya (turun) paling dalam dibandingkan negara Asia, lebih dalam dari Jepang dan Korea Selatan," ungkap Sri Mulyani dalam video conference.
Sebagai catatan, PMI di atas 50 mencerminkan sektor industri berada dalam kondisi ekspansi. Sebaliknya, PMI 50 ke bawah menggambarkan sektor industri mengalami kontraksi.
Pada Mei 2020, PMI manufaktur juga masih terperosok di posisi 28,6. Sektor manufaktur kembali stabil di level ekspansi pada November 2020 yakni 50,6, berlanjut pada tahun ini.
Sepanjang 2021, sektor manufaktur menunjukkan tren pemulihan. Bahkan, pada Mei 2021, PMI manufaktur mencetak rekor tertinggi sepanjang sejarah yakni 55,3. Rekor itu ditopang oleh kenaikan dari permintaan barang dan produksi.
Sayangnya, tak selang lama usai mencetak rekor baru, PMI manufaktur kembali jatuh pada level kontraksi, yakni 40,1 pada Juli 2021. Kejatuhan manufaktur dipicu oleh pengetatan mobilitas melalui PPKM darurat karena varian delta mengerek jumlah kasus covid-19.