Wiwit menyadari jalan bisnisnya tak akan selalu mulus. Hal itu mulai terasa sejak Maret 2020 silam saat pandemi Covid-19 masuk ke Indonesia.
Bermacam permintaan dari luar negeri yang biasanya berdatangan kala itu menghilang bak ditelan bumi. Tak ada orderan dalam tiga bulan, tak ada pemasukan bagi Witrove-nama toko kerajinan Wiwit.
"Dari Rp1,5 M jadi Rp0, pernah sama sekali enggak ada orderan dalam tiga bulan saat Covid-19 awal-awal," tutur Wiwit.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia dan suami kemudian putar otak agar bisnisnya tak gulung tikar. Mengurangi pegawai terpaksa dilakukannya. Workshop yang biasanya teratur dilakukan juga tak jadi pilihan saat pandemi Covid-19, mereka kemudian mencoba platform penjualan daring.
Supardi, sang suami mulai aktif memasarkan produk daring. Pemasaran di sosial media Instagram dan Facebook mulai masif, hingga platform belanja daring.
"Iya itu kami coba jualan online di toko online itu, tapi harga kalah saing dengan toko lain," kata Supardi.
Sementara menurunkan harga jual lebih rendah tak bisa dilakukan. Sebab, meski eceng gondok bisa didapat dengan mudah dan murah, mereka mesti mengolah bahan mentah tersebut hingga siap dianyam dan produk siap dipasarkan.
![]() |
"Ada penjual eceng gondok, dari situ kami bersihkan kami keringkan dengan asap dan belerang, itu modalnya juga lumayan besar, kemudian dianyam, bayar pegawai, bayar penyulam kalau ditambahkan model sulaman, kami juga pakai pelapis air supaya tidak terkena jamur," jelas Wiwit.
Sama seperti pebisnis lainnya, Witrove juga masih berjuang di masa pandemi Covid-19. Meski tak mudah, Wiwit mengaku bisnisnya masih tetap bisa menghasilkan untuk kebutuhan sehari-hari.
"Kemarin 2020 pemasukan turun ya kira-kira Rp20 juta setahun, tapi ya disyukuri masih ada tabungan untuk modal, masih cukup untuk kebutuhan sehari-hari," tandasnya.
(mel/eks)