Surabaya, CNN Indonesia --
Wiwit Manfaati (54) tak pernah menyangka bisa menyekolahkan dua anaknya hingga sarjana hingga pergi haji dari hasil jerih bisnis kerajinan eceng gondok yang dirintisnya. Apalagi ketika keduanya mimpi besar itu tercapai, masih tersisa rupiah di rekeningnya.
Berawal dari 'bersih-bersih' limbah eceng gondok di sungai dekat rumahnya, Wiwit kini bisa disebut sebagai pengusaha sukses. Keahliannya mengubah limbah menjadi kerajinan tangan dengan nilai jual tinggi memutar roda hidupnya.
"Iya saya dulu miskin, atap rumah kami hampir roboh waktu itu, suami kena PHK, kena tipu hingga raib uang berjuta-juta, sekarang Alhamdulilah punya simpanan dan untuk hari tua," kata Wiwit saat ditemui CNNIndonesia.com di sanggar kerajinan tangan miliknya di Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (21/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Modal Rp20 Ribu, Untung Rp1,5 Miliar
Langkah Wiwit bersama suaminya, Supardi (54) berawal dari 2008 silam. Sang suami terkena PHK besar-besaran dari sebuah perusahaan, Wiwit yang menjadi Ibu Rumah Tangga saat itu sempat bekerja di sebuah kantor percetakan untuk menambah penghasilan keluarga.
Selepas sang suami terkena PHK, keuangan keluarga mulai limbung. Bermodal kepercayaan pada teman, Wiwit dan suami membuka usaha kecil-kecilan dengan seorang kerabat. Namun untung tak kunjung datang, justru panggilan penagih utang datang silih berganti.
"Kami kena tipu saat itu, tiap hari ada penagih utang padahal kami tidak berutang kepada siapa pun," kata Wiwit.
Tak hilang akal, Wiwit mencoba mencari pundi rupiah. Berbekal kemampuan menganyam seadanya, perempuan berjilbab ini kemudian memberanikan diri menjual kerajinan tangan dari eceng gondok.
"Waktu itu 2008 harga eceng gondok cuman Rp1.500 per kilogram. Saya lihat eceng gondok itu dikirim ke pabrik untuk dibuat kerajinan, saya pikir saya juga bisa mengubahnya jadi kerajinan tangan," kenang Wiwit.
Berbekal uang Rp20 ribu, Wiwit kemudian membeli eceng gondok untuk dianyam menjadi berbagai bentuk. Mulanya dia membuat taplak meja, wadah, hingga vas bunga.
"Saya kasih lihat tetangga dan katanya bagus, dari situ saya mulai semangat dan coba jual lebih banyak ke sekitar," ujarnya.
[Gambas:Video CNN]
Perlahan tapi pasti, bisnis kerajinan tangan Wiwit berkembang. Mulai dari 1-5 permintaan kerajinan eceng gondok per hari, kini Wiwit bisa menyelesaikan hingga 4.000 kerajinan tangan eceng gondok sesuai pesanan.
Pegawainya pun tak seorang-dua orang. Dia pernah punya 100 pegawai saat menerima pesanan 4.000 kerajinan eceng gondok dalam satu waktu. Pesanan tersebut merupakan permintaan dari luar negeri, mulai Tiongkok hingga negara Eropa.
Orderan yang pernah dibuat Wiwit juga tak hanya sebatas taplak meja dan keranjang buah, ada tas anyaman eceng gondok, topi, hingga kursi-meja, bahkan lemari.
Omzet Wiwit pernah mencapai Rp1,5 miliar dalam setahun. Kerajinan eceng gondoknya mulai digemari orang-orang dari berbagai belahan dunia.
"Itu tahun 2016-2017 omzet sampai Rp1,5 miliar karena kami mulai ekspor ke luar negeri," ungkap Wiwit.
Dia juga bercerita, Menteri Sosial Tri Rismaharini pernah meminta lusinan nampan, taplak meja, kotak tisu, hingga keranjang anyaman eceng gondoknya saat masih menjabat sebagai Wali Kota Surabaya pada 2010 lalu.
"Waktu itu diminta bu Risma menampilkan produk anyaman eceng gondok saya, terus dimarahin 'kok kayak gini, bisa lebih bagus enggak?' Dan saya jawab bisa, terus bu Risma minta masing-masing dibuatkan satu untuk sample sampai akhirnya eceng gondok saya sering dipesan untuk souvenir tamu pemkot," kata Wiwit.
Sejak itu, dia juga mulai sering mengikut pangeran UMKM di Surabaya.
[Gambas:Photo CNN]
Wiwit menyadari jalan bisnisnya tak akan selalu mulus. Hal itu mulai terasa sejak Maret 2020 silam saat pandemi Covid-19 masuk ke Indonesia.
Bermacam permintaan dari luar negeri yang biasanya berdatangan kala itu menghilang bak ditelan bumi. Tak ada orderan dalam tiga bulan, tak ada pemasukan bagi Witrove-nama toko kerajinan Wiwit.
"Dari Rp1,5 M jadi Rp0, pernah sama sekali enggak ada orderan dalam tiga bulan saat Covid-19 awal-awal," tutur Wiwit.
Dia dan suami kemudian putar otak agar bisnisnya tak gulung tikar. Mengurangi pegawai terpaksa dilakukannya. Workshop yang biasanya teratur dilakukan juga tak jadi pilihan saat pandemi Covid-19, mereka kemudian mencoba platform penjualan daring.
Supardi, sang suami mulai aktif memasarkan produk daring. Pemasaran di sosial media Instagram dan Facebook mulai masif, hingga platform belanja daring.
"Iya itu kami coba jualan online di toko online itu, tapi harga kalah saing dengan toko lain," kata Supardi.
Sementara menurunkan harga jual lebih rendah tak bisa dilakukan. Sebab, meski eceng gondok bisa didapat dengan mudah dan murah, mereka mesti mengolah bahan mentah tersebut hingga siap dianyam dan produk siap dipasarkan.
 Bahan baku mentang eceng gondol yang digunakan Wiwit di sanggar kerajinan tangan miliknya di Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (21/8). (dok. Melani Putri) |
"Ada penjual eceng gondok, dari situ kami bersihkan kami keringkan dengan asap dan belerang, itu modalnya juga lumayan besar, kemudian dianyam, bayar pegawai, bayar penyulam kalau ditambahkan model sulaman, kami juga pakai pelapis air supaya tidak terkena jamur," jelas Wiwit.
Sama seperti pebisnis lainnya, Witrove juga masih berjuang di masa pandemi Covid-19. Meski tak mudah, Wiwit mengaku bisnisnya masih tetap bisa menghasilkan untuk kebutuhan sehari-hari.
"Kemarin 2020 pemasukan turun ya kira-kira Rp20 juta setahun, tapi ya disyukuri masih ada tabungan untuk modal, masih cukup untuk kebutuhan sehari-hari," tandasnya.