Deretan Saham Kinclong Kala Tapering Off The Fed Mengintai
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah 1,77 persen dan ditutup di posisi 6.139 pada pekan lalu. Pelaku asing mencatatkan pembelian bersih (net buy) sebesar Rp2,3 triliun pada periode sama.
Pengamat Pasar Modal Riska Afriani menyebut penurunan signifikan indeks dalam negeri pada pekan lalu disebabkan oleh sentimen luar, yakni kekhawatiran kebijakan pengetatan moneter (tapering off) oleh bank sentral Amerika Serikat The Federal Reserves (The Fed).
Pasar khawatir bank sentral AS bakal mengumumkan kebijakan tersebut pada September mendatang dan mulai mengerem pembelian obligasi Pemerintah AS serta meningkatkan suku bunga acuan bank.
Lihat Juga : |
Kekhawatiran muncul lantaran data-data perekonomian AS sesuai target dan menunjukkan pemulihan. Misalnya data pengangguran yang turun signifikan ke level 5,4 persen pada Juli lalu, sebagai pembanding pada April 2020 tingkat pengangguran berada di level 14,8 persen.
"Tingkat inflasi juga cukup stabil sesuai target dan ini yang menjadi kekhawatiran," katanya kepada CNNIndonesia.com, Minggu (22/8).
Kendati begitu, Riska menilai isu tapering off The Fed bukan satu-satunya pemberat indeks. Secara fundamental makro pun, ia menilai Indonesia masih cukup baik, seperti nilai tukar rupiah, cadangan devisa, realisasi GDP, dan pertumbuhan kredit.
Riska mengatakan pemberat indeks lainnya berasal dari kepanikan jual beberapa saham penggerak (movers) indeks, salah satunya saham PT Bukalapak.com Tbk (BUKA).
Lihat Juga : |
Ia menyebut BUKA telah menggeser posisi saham dengan turn over harian tertinggi yang sebelumnya didominasi saham perbankan seperti BBCA atau BBRI. Sepekan lalu, ia mencatat turn over BUKA mencapai Rp7,2 triliun, sedangkan BBCA hanya setengahnya di kisaran Rp3,7 triliun.
Melihat itu, ia tak heran fluktuatif BUKA ikut membebani indeks. Penjualan yang panik, kata dia, membuat indeks sempat berada di level 5.900-an kendati asing membukukan pembelian.
Sebagai informasi, sepanjang pekan lalu BUKA anjlok 10,36 persen atau melemah selama 3 dari empat hari perdagangan. Emiten teknologi tersebut melandai ke level 865 dari posisi pekan lalu di 955. Emiten sempat turun ke level 830 alias di bawah harga IPO yakni 850.
"Karena kapitalisasi market BUKA besar jadi pengaruh ke IHSG cukup besar. Saya lihat ada panic selling di sana," ujarnya.
Lihat Juga : |
Untuk pekan ini, Riska memproyeksikan indeks masih rawan koreksi dengan bergerak di rentang 5.960-6.120.
Sentimen yang masih membayangi di pekan ini tak jauh-jauh dari isu sebelumnya, yakni tapering off dan fluktuasi saham penggerak indeks. Di samping itu pengumuman PPKM level yang akan disampaikan Senin (23/8) hari ini.
Ia menyarankan pelaku pasar untuk tidak panik ketika terjadi pelemahan dan menghindari mentalitas ikut-ikutan atau fear of missing out (FOMO) yang akhir-akhir ini kerap terjadi, khususnya di sektor teknologi dan bank digital.
Lihat Juga :EDUKASI KEUANGAN Tips Hindari Jebakan Investasi Bodong Berkedok Arisan Online |
Riska menyarankan untuk beralih ke investasi jangka panjang (long term investing) untuk menghindari fluktuasi. Ia menilai sektor yang saat ini tepat untuk dijadikan instrumen investasi adalah perbankan, properti, dan telekomunikasi.
Di sektor perbankan Riska menyarankan mengoleksi empat saham BUMN, yakni BBRI, BBNI, BMRI, dan BBTN. Sedangkan di sektor properti ia menyarankan saham PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE), PT Ciputra Development Tbk (CTRA), dan PT Summarecon Agung Tbk (SMRA).
Kemudian, di sektor telekomunikasi ia memilih PT Indosat Tbk (ISAT), PT XL Axiata Tbk (EXCL), dan PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk atau TLKM. Namun, ia tak memasang harga target untuk saham tersebut.
Cek saham pilihan lain pada halaman selanjutnya.