Presiden Joko Widodo (Jokowi) mewaspadai dampak PPKM terhadap pertumbuhan ekonomi kuartal III dan IV. Sebab, mobilitas masyarakat masih dibatasi demi menekan penularan covid-19 di dalam negeri.
"Pertumbuhan ekonomi kuartal II 2021 sudah 7,07 persen, namun tetap waspada dengan ekonomi kuartal III dan IV akan mengalami dampak dari kebijakan PPKM," ungkap Jokowi dalam Pembukaan dan Seminar Nasional ISEI 2021, Selasa (31/8).
Pemerintah mulai menerapkan PPKM darurat pada 3-20 Juli di Jawa-Bali dan 12-20 Juli di luar Jawa-Bali. Saat itu, kegiatan masyarakat benar-benar dibatasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mal, restoran, pedagang kaki lima, hingga warteg dilarang beroperasi. Perjalanan ke luar kota juga dibatasi demi mengurangi pergerakan masyarakat di ruang publik.
Kemudian, PPKM diperpanjang selama 20-25 Juli dengan sistem berjenjang atau PPKM level. Wilayah yang tingkat penularannya tinggi akan masuk level 4, sedangkan yang rendah masuk level 3 atau 2.
Pemerintah mengevaluasi PPKM seminggu sekali. Berdasarkan evaluasi terakhir, PPKM diperpanjang hingga 6 September 2021 mendatang.
Tercatat, 25 kabupaten/kota sedang menerapkan PPKM level 4 di Jawa-Bali. Patut diingat, meski PPKM diperpanjang, tetapi aturannya tak seketat awal Juli 2021 lalu.
Kini, mal sudah bisa beroperasi dengan kapasitas 50 persen hingga pukul 21.00 WIB. Warteg atau pedagang kaki lima lainnya juga sudah bisa kembali berdagang.
Masyarakat juga bisa dengan mudah melakukan perjalanan selama memiliki sertifikat vaksin minimal dosis pertama.
Apabila diperhatikan, pemerintah tampaknya memang membuka aktivitas ekonomi secara perlahan, seiring dengan melambatnya kasus penularan covid-19 di dalam negeri.
Namun, apakah pelonggaran ini mampu menolong ekonomi Indonesia pada kuartal III dan IV?
Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai pertumbuhan ekonomi akan melambat pada kuartal III dan IV 2021. Soalnya, angka pengangguran dan kemiskinan berpotensi naik akibat PPKM.
Ia menjelaskan dampak PPKM sangat terasa bagi pelaku usaha di sektor informal. Mereka adalah orang-orang yang bergantung dengan mobilitas masyarakat.
Mulanya, pedagang kaki lima tak bisa berjualan saat PPKM darurat diterapkan selama 17 hari. Hal ini membuat mereka kehilangan mata pencaharian.
Setelah hampir tiga minggu, pemerintah mengizinkan warteg atau restoran di ruang terbuka beroperasi dengan kapasitas dan jam operasional terbatas. Hanya saja, ini tak menjamin pelaku usaha di sektor informal langsung pulih.
"Jualan di pinggir jalan misalnya, mayoritas pengunjungnya kan berasal dari kantor. Kalau perkantoran masih work from home (WFH), hanya sedikit sektor yang dilonggarkan, ya mereka (pedagang di pinggir jalan) paling terpukul," terang Bhima kepada CNNIndonesia.com, Rabu (1/9).
Walhasil, potensi pendapatan pedagang kaki lima tak sebesar sebelum-sebelumnya. Mereka otomatis menahan belanja agar bisa bertahan hidup lebih lama. Ini baru contoh kecil dari penderitaan pelaku usaha di sektor informal.
Di sektor formal, Bhima khawatir kredit macet di dalam negeri melonjak. Memang, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengeluarkan aturan restrukturisasi kredit untuk dunia usaha selama pandemi covid-19.
Namun, Bhima memprediksi bank menjadi semakin selektif menerima pengajuan restrukturisasi dari dunia usaha. Maklumlah, bank juga butuh menjaga kinerjanya tetap aman.
"Bank tidak mungkin terus menerus merestrukturisasi, jadi mereka (bank akan selektif)," terang Bhima.
Sementara, ada beberapa perusahaan yang benar-benar sudah kesulitan tetapi tak berhasil dapat fasilitas restrukturisasi. Mereka akhirnya terpaksa mengajukan pailit.
"Mengajukan pailit ini berdampak pada pengangguran. Ini khususnya di sektor perdagangan, transportasi, dan pariwisata," kata Bhima.
Bhima memproyeksi jumlah pengangguran di Indonesia naik menjadi 7 persen-7,5 persen pada Agustus 2021 mendatang. Angkanya lebih tinggi dari realisasi tingkat pengangguran Februari 2021 yang sebesar 6,26 persen.
Jika tingkat pengangguran meningkat, maka jumlah orang miskin juga bertambah. Merujuk data BPS, jumlah penduduk miskin di Indonesia tembus 27,55 juta pada September 2020.
Kalau orang miskin bertambah, jangan harap konsumsi rumah tangga bertahan di angka 5 persen seperti kuartal II 2021 lalu. Daya beli masyarakat hampir dapat dipastikan merosot.
"Yang paling berdampak daya belinya adalah mereka yang sudah tidak punya tabungan, aset sudah terjual banyak," tutur Bhima.
Sementara, konsumsi masyarakat adalah tulang punggung ekonomi Indonesia. Jika konsumsi jeblok, otomatis pertumbuhan ekonomi juga seret.
"Walaupun sekarang ada pelonggaran, tetapi pemulihan ekonomi tidak merata di semua kelompok masyarakat," jelasnya.
Apalagi, ia menilai tabungan kelas menengah ke bawah sudah hampir habis untuk bertahan hidup selama pandemi. Di sisi lain, orang kaya masih menahan belanja karena ketidakpastian masih tinggi.
Jadi, pelonggaran PPKM tak berarti banyak untuk ekonomi. Minimal, hanya bisa menjaga ekonomi tetap di zona positif.
Bhima memprediksi ekonomi kuartal III dan IV 2021 berada di kisaran 2 persen-3 persen. Jauh melambat dari posisi kuartal II 2021 yang tembus 7 persen.
"Karena ada low based effect kuartal III 2020 kan sudah negatif, jadi kuartal III 2021 ini ada pertumbuhan meski tipis," ucap Bhima.
Ia memproyeksi ekonomi sepanjang tahun ini tak jauh-jauh dari 2,5 persen-3,5 persen. Angkanya di bawahprediksi pemerintah yang mencapai 3,7 persen-4,5 persen.
Senada, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda memprediksi pertumbuhan ekonomi kuartal III dan IV 2021 akan tetap positif. Namun, angkanya lebih rendah dari kuartal II 2021.
"Ada PPKM membuat perputaran ekonomi lebih lambat, namun tampaknya tetap akan lebih tinggi dari kuartal III 2020. Jadi, menurut saya, masih tumbuh positif, namun lebih rendah dari kuartal II 2021," ungkap Nailul.
Ekonomi kuartal II 2021, sambung Nailul, bisa melonjak karena ada momentum Ramadan dan Lebaran. Saat itu, pembatasan mobilitas juga lebih longgar dibandingkan sekarang.
"Selain itu, basis PDB kuartal II 2020 juga sangat rendah, maka kuartal II 2021 tumbuh pesat," kata Nailul.
Sementara, ia memprediksi ekonomi hanya tumbuh 2,5 persen-3 persen sepanjang 2021. Proyeksinya juga lebih rendah dari pemerintah.