Jakarta, CNN Indonesia --
Kasus sengketa kepemilikan tanah kembali menjadi sorotan publik akhir-akhir ini. Hal ini dipicu oleh kabar somasi yang diterima pengamat politik Rocky Gerung dari PT Sentul City Tbk.
Sentul City mengirim tiga surat somasi kepada Rocky karena menganggap dia telah menduduki lahan di Desa Bojong Koneng, Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Lahan tersebut kemudian Rocky dirikan rumah, sehingga pihak Sentul City memintanya untuk segera mengosongkan rumah tersebut.
Head of Corporate Communication Sentul City David Rizar Nugroho mengatakan somasi dilayangkan karena perusahaan mengklaim memiliki hak sah atas tanah bekas Hak Guna Usaha (HGU) PT Perkebunan XI itu. Kepemilikan tertuang di Surat Hak Guna Bangunan (SHGB) Nomor B 2412 dan 2411 sejak 1994.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara Rocky melalui kuasa hukumnya, Haris Azhar mengatakan Rocky juga punya hak atas tanah tersebut. Hak itu didapat setelah mendapat oper alih garapan secara sah dari pemilik terdahulu Andi Junaedi dan telah dicatatkan secara sah di Kelurahan Bojong Koneng, Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor dengan nomor administrasi 592/VI/2009 tertanggal 1 Juni 2009.
Namun, Sentul City mengklaim bahwa pembelian tanah dari Andi oleh Rocky tidak sah karena Andi sudah pernah dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Negeri Cibinong dengan putusan nomor 310/Pid.B/2020/PN Cbi pada 2020 karena memalsukan surat-surat pembelian tanah.
Sedangkan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menilai hal ini terjadi karena ada tumpang tindih kepemilikan. Tapi, masalah siapa yang berhak atas tanah tersebut perlu ditentukan oleh pengadilan, sehingga kasus ini harusnya dilanjutkan ke pengadilan.
"Kalau ada klaim tumpang tindih, ada perselisihan itu pengadilan," ucap Staf Khusus sekaligus Juru Bicara Kementerian ATR/BPN Teuku Taufiqulhadi kepada CNNIndonesia.com, Jumat (10/9).
Kendati begitu, Ekonom Indef Nailul Huda menilai kasus sengketa tanah semacam ini sejatinya bukan hal baru di Indonesia. Sebab, sudah sering terjadi di masyarakat dan korporasi.
Penyebabnya, mulai dari korporasi yang sering menimbun aset dan tidak mengelolanya selama bertahun-tahun. Bisa juga karena aksi pemalsuan atau duplikasi sertifikat tanah oleh oknum tak bertanggung jawab yang kemudian diperjualbelikan ke masyarakat.
Masyarakat pun kadang kurang teredukasi dan teliti dalam mencermati cara jual beli tanah karena terpaku hanya pada penguasaan fisik oleh salah satu pihak. "Mafia tanah pun ada di Indonesia," ujar Huda.
Sayangnya, menurut Huda, kasus sengketa tanah kerap berulang karena pemerintah juga tidak tegas dan transparan. Hal ini terjadi karena lemahnya sistem pencatatan dan data pertanahan di Indonesia.
Bahkan, administrasi pengurusan sertifikat tanah pun masih sering bermasalah. Padahal, berbagai kebijakan reformasi pertanahan sudah disadari, salah satunya melalui program bagi-bagi sertifikasi tanah oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Kepala negara sempat 'getol-getolnya' membagi sertifikat tanah secara gratis kepada masyarakat saat masa kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 lalu. Namun, kebijakan ini tiba-tiba meredup usai ia terpilih dan menjabat presiden lagi.
"Program sertifikasi tanah yang dilakukan Pak Jokowi sebenarnya bagus, namun memang masih ada kebocoran sertifikat tanah ini," imbuhnya.
Tapi, menurut Huda, di luar program ini ada atau tidak di berbagai pemberitaan, sudah semestinya Kementerian ATR/BPN menjalankan tugas tata kelola sistem pencatatan dan data pertanahan dengan baik.
"Maka sebenarnya reformasi di pihak BPN diperlukan. Tata kelola kementerian hingga ke tingkat kecamatan atau kelurahan harus dibenahi," ungkapnya.
[Gambas:Video CNN]
Sebab, Kementerian ATR/BPN menjadi juru kunci atas berbagai potensi dan masalah sengketa tanah yang sudah terjadi di masyarakat. Ketika ada sengketa, maka sudah seharusnya Kementerian ATR/BPN menengahi dengan membuka data pertanahan secara transparan kepada publik.
Dengan begitu, bisa terlihat mana pihak yang sebenarnya memegang kuasa atas suatu lahan tanpa harus selalu berujung pada meja pengadilan. Apalagi, urusan sengketa hingga ke ranah pengadilan membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit.
"Pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk membuat sistem di BPN menjadi terbuka dan tidak ada double sertifikat," katanya.
Senada, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika juga menilai kasus sengketa tanah di dalam negeri sejatinya tidak lepas dari faktor 'no clear and clean' dari Kementerian ATR/BPN selama ini. Padahal, prinsip ini merupakan hal dasar untuk menghindari konflik pertanahan dan menjadi tugas dari kementerian.
"Tapi selama ini BPN abai, makanya terjadi tumpang tindih dari klaim masyarakat maupun korporasi," tutur Dewi.
Pasalnya, menurut Dewi, masyarakat yang selama ini menduduki tanah dengan sertifikat yang salah belum tentu sepenuhnya tidak punya hak atas lahan tersebut. Toh, penguasaan di lapangan juga bisa menjadi pertimbangan kepemilikan, meski sering kali yang menang di pengadilan adalah mereka yang punya hak guna resmi.
Tapi, pemegang hak guna resmi pun perlu ingat bahwa mereka punya kewajiban mengelola, mengusahakan, memanfaatkan, hingga memelihara tanah mereka. Sebab, bila tidak, maka tanah itu bisa masuk sebagai kategori tanah terlantar yang kemudian diterbitkan oleh Kementerian ATR/BPN.
Ketentuan ini ada di Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar. Dalam beleid tersebut dituliskan bahwa tanah hak milik bisa menjadi objek penerbitan tanah terlantar jika dengan sengaja tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan, dan/atau tidak dipelihara, sehingga dikuasai oleh masyarakat serta menjadi wilayah perkampungan.
Bisa juga telah dikuasai oleh pihak lain secara terus menerus selama 20 tahun tanpa hubungan hukum dengan pemegang hak hingga adanya fungsi sosial hak atas tanah yang tidak terpenuhi, baik oleh pemegang hak yang masih ada maupun yang sudah tidak ada.
Bahkan, pada tanah yang berstatus hak guna usaha (HGU), hak guna bangunan (HGB), hak pakai, hak pengelolaan, dan tanah yang diperoleh berdasarkan dasar penguasaan atas tanah bisa menjadi objek penerbitan tanah terlantar jika sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan, dan/atau tidak dipelihara terhitung mulai dua tahun sejak diterbitkan haknya.
Sayangnya, menurut Dewi, pemerintah pun abai dengan aturan yang dibuatnya sendiri. Padahal, aturan ini sebenarnya sudah bisa menyelesaikan sengketa-sengketa semacam ini.
"Maka ketika tanah itu terbukti tidak digunakan oleh perusahaan pada tahun-tahun sebelumnya, seharusnya ada peringatan kepada perusahaan untuk segera diaktifkan. Tapi kalau tidak juga dan sudah ada pemukiman, atau tanah digarap secara produktif oleh pihak lain, maka yang paling berhak seharusnya sudah pihak yang memiliki penguasaan fisik di lapangan," terangnya.
Di sisi lain, Dewi juga mengkritik sikap Kementerian ATR/BPN yang seolah lepas tanggung jawab dengan meminta pihak-pihak bersengketa untuk langsung menyelesaikan di pengadilan.
"Padahal seharusnya BPN tidak bisa melepas (ke pengadilan) begitu saja. Seharusnya ada tanggung jawab BPN dengan membuka status tanah kepada publik secara transparan. Berapa luasnya, kapan diterbitkan haknya, kepada siapa pemberian haknya, siapa sumber sebelumnya," imbuhnya.
Untuk itu, ia meminta Kementerian ATR/BPN melakukan reformasi di bidang sistem pencatatan dan data pertanahan agar potensi kasus sengketa karena tumpang tindih klaim hak tidak terjadi lagi di lapangan. Sistem pencatatan dan data pertanahan pun diminta untuk 'jemput bola' ke lapangan.
"Mandatnya sudah ada soa pendaftaran tanah ini tapi tidak dilakukan, sehingga sengketa sekarang ini merupakan warisan dari masa lalu," ucapnya.
Setelah itu, berikan informasi terbuka kepada publik. Terakhir, tindak tegas pihak-pihak yang menelantarkan tanah agar lahan tersebut bisa lebih tepat guna dan tepat sasaran.
[Gambas:Video CNN]