Sebab, Kementerian ATR/BPN menjadi juru kunci atas berbagai potensi dan masalah sengketa tanah yang sudah terjadi di masyarakat. Ketika ada sengketa, maka sudah seharusnya Kementerian ATR/BPN menengahi dengan membuka data pertanahan secara transparan kepada publik.
Dengan begitu, bisa terlihat mana pihak yang sebenarnya memegang kuasa atas suatu lahan tanpa harus selalu berujung pada meja pengadilan. Apalagi, urusan sengketa hingga ke ranah pengadilan membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit.
"Pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk membuat sistem di BPN menjadi terbuka dan tidak ada double sertifikat," katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Senada, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika juga menilai kasus sengketa tanah di dalam negeri sejatinya tidak lepas dari faktor 'no clear and clean' dari Kementerian ATR/BPN selama ini. Padahal, prinsip ini merupakan hal dasar untuk menghindari konflik pertanahan dan menjadi tugas dari kementerian.
Lihat Juga : |
"Tapi selama ini BPN abai, makanya terjadi tumpang tindih dari klaim masyarakat maupun korporasi," tutur Dewi.
Pasalnya, menurut Dewi, masyarakat yang selama ini menduduki tanah dengan sertifikat yang salah belum tentu sepenuhnya tidak punya hak atas lahan tersebut. Toh, penguasaan di lapangan juga bisa menjadi pertimbangan kepemilikan, meski sering kali yang menang di pengadilan adalah mereka yang punya hak guna resmi.
Tapi, pemegang hak guna resmi pun perlu ingat bahwa mereka punya kewajiban mengelola, mengusahakan, memanfaatkan, hingga memelihara tanah mereka. Sebab, bila tidak, maka tanah itu bisa masuk sebagai kategori tanah terlantar yang kemudian diterbitkan oleh Kementerian ATR/BPN.
Ketentuan ini ada di Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar. Dalam beleid tersebut dituliskan bahwa tanah hak milik bisa menjadi objek penerbitan tanah terlantar jika dengan sengaja tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan, dan/atau tidak dipelihara, sehingga dikuasai oleh masyarakat serta menjadi wilayah perkampungan.
Lihat Juga : |
Bisa juga telah dikuasai oleh pihak lain secara terus menerus selama 20 tahun tanpa hubungan hukum dengan pemegang hak hingga adanya fungsi sosial hak atas tanah yang tidak terpenuhi, baik oleh pemegang hak yang masih ada maupun yang sudah tidak ada.
Bahkan, pada tanah yang berstatus hak guna usaha (HGU), hak guna bangunan (HGB), hak pakai, hak pengelolaan, dan tanah yang diperoleh berdasarkan dasar penguasaan atas tanah bisa menjadi objek penerbitan tanah terlantar jika sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan, dan/atau tidak dipelihara terhitung mulai dua tahun sejak diterbitkan haknya.
Sayangnya, menurut Dewi, pemerintah pun abai dengan aturan yang dibuatnya sendiri. Padahal, aturan ini sebenarnya sudah bisa menyelesaikan sengketa-sengketa semacam ini.
"Maka ketika tanah itu terbukti tidak digunakan oleh perusahaan pada tahun-tahun sebelumnya, seharusnya ada peringatan kepada perusahaan untuk segera diaktifkan. Tapi kalau tidak juga dan sudah ada pemukiman, atau tanah digarap secara produktif oleh pihak lain, maka yang paling berhak seharusnya sudah pihak yang memiliki penguasaan fisik di lapangan," terangnya.
Di sisi lain, Dewi juga mengkritik sikap Kementerian ATR/BPN yang seolah lepas tanggung jawab dengan meminta pihak-pihak bersengketa untuk langsung menyelesaikan di pengadilan.
"Padahal seharusnya BPN tidak bisa melepas (ke pengadilan) begitu saja. Seharusnya ada tanggung jawab BPN dengan membuka status tanah kepada publik secara transparan. Berapa luasnya, kapan diterbitkan haknya, kepada siapa pemberian haknya, siapa sumber sebelumnya," imbuhnya.
Untuk itu, ia meminta Kementerian ATR/BPN melakukan reformasi di bidang sistem pencatatan dan data pertanahan agar potensi kasus sengketa karena tumpang tindih klaim hak tidak terjadi lagi di lapangan. Sistem pencatatan dan data pertanahan pun diminta untuk 'jemput bola' ke lapangan.
"Mandatnya sudah ada soa pendaftaran tanah ini tapi tidak dilakukan, sehingga sengketa sekarang ini merupakan warisan dari masa lalu," ucapnya.
Setelah itu, berikan informasi terbuka kepada publik. Terakhir, tindak tegas pihak-pihak yang menelantarkan tanah agar lahan tersebut bisa lebih tepat guna dan tepat sasaran.