Senada dengan Rachel, Akbar, karyawan swasta lainnya juga tidak setuju dengan rencana perubahan layanan ini. Bahkan, menurutnya, iming-iming perubahan kelas standar demi peningkatan kualitas layanan kepada peserta tidak serta merta bisa dipercaya.
"Saya tidak yakin kelas standar bakal meningkatkan layanan. Kalau mau dibenahi ya dari sistem BPJS-nya dulu, kalau tidak dibenahi, ya bakal percuma kelas standar ini. Kelas standar bakal sama saja jatuhnya, layanan BPJS Kesehatan tetap jadi anak tiri," kata pria berusia 29 tahun itu.
Pembenahan sistem ini, menurutnya, perlu dilakukan mulai dari administrasi, data, kualitas ruangan rawap inap, hingga kondisi keuangan BPJS Kesehatan sendiri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Begitu pula dengan dampak pada besaran iuran. Kebetulan, sama dengan Rachel, ia juga peserta kelas mandiri 3 dengan turut menanggung kedua orang tua.
"Keberatan lah, soalnya jadi tambah mahal bayarannya. Jadi kalau sekarang bayarnya cuma Rp105 ribu, naik bisa jadi Rp150 ribu sampai Rp225 ribu, jadi lumayan banget," ungkapnya.
Sementara Zahra punya alasan penolakan yang berbeda. Kebetulan, karyawan swasta yang satu ini sedang hamil dan akan melahirkan pada tahun depan.
Lihat Juga : |
Ia mengaku sudah berencana menaikkan kelas kepesertaannya dari semula mandiri 3 menjadi mandiri 1 jelang kelahiran. Tujuannya, agar mendapat fasilitas rawat inap yang lebih baik nantinya dan ketika ingin ditingkatkan jadi kelas utama, maka biaya penambahannya tidak terlalu jauh.
"Soalnya kan lagi pandemi begini, tentu maunya fasilitas rawat inap yang lebih sedikit ya kamar tidurnya di satu ruangan, jadi maunya naik kelas mandiri 1 jelang lahiran. Tapi karena lagi pandemi juga, pemasukan stagnan, tapi pengeluaran banyak, jadi melahirkan dengan BPJS ini tetap jadi pilihan saya," ucap Zahra.
Masalahnya, bila kelas standar benar diterapkan pada 2022 jelang kelahirannya, ia khawatir layanan yang diberikan jadi seragam. Padahal, ia akan membayar lebih mahal dalam beberapa bulan ke depan karena berencana naik kelas.
"Jadi nanti sudah bayar lebih mahal dalam beberapa bulan ke depan, ujungnya tidak bisa dapat fasilitas kelas 1 karena diubah lagi standar kelasnya. Ini jadi percuma dong," imbuhnya.
Sementara isu yang didengarnya saat ini, ruang inap untuk kelas non-PBI akan disamaratakan menjadi empat tempat tidur dalam satu ruangan. "Ya kalau begini jadi tidak punya banyak pilihan ya, dan kalau nambah dana sendiri untuk upgrade khawatirnya lebih mahal," katanya.
Untuk itu, ia meminta pemerintah juga menunda dulu rencana ini. Paling tidak, ia berharap ada sosialisasi yang jelas ke masyarakat luas, sehingga perubahan tidak ujug-ujug diterapkan.
Apalagi hal ini menyangkut layanan kesehatan masyarakat dan pandemi covid-19 masih memberi ketidakpastian bagi masyarakat.
"Jangan sampai sudah tidak pasti dengan covid, soal layanan juga makin tidak pasti," pungkasnya.