Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung tiba-tiba menjadi sorotan publik. Pemicunya karena Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan aturan baru mengenai pembangunan proyek tersebut.
Aturan itu berbentuk Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 93 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Perpres Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat antara Jakarta-Bandung
Melalui aturan itu, Jokowi mengubah beberapa kebijakan pemerintah dalam pelaksanaan proyek yang kemungkinan besar menelan dana sampai Rp114 triliun tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perubahan mulai dari pimpinan konsorsium proyek dari semula PT Wijaya Karya (Persero) Tbk atau Wika menjadi PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI.
Lalu, mengubah trase jalur pembangunan proyek dari Jakarta-Walini-Bandung menjadi Jakarta-Padalarang-Bandung. Kemudian, menunjuk Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan menjadi pimpinan komite percepatan proyek.
Selanjutnya, merestui penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melalui penyertaan modal negara (PMN) dan penjaminan pemerintah dalam proyek tersebut. Padahal sebelumnya, Jokowi berjanji proyek ini tidak akan menggunakan dana negara.
Perubahan aturan ini pun membuat berbagai masalah yang mewarnai pelaksanaan proyek itu kian terbuka ke publik. Lantas apa saja masalah di proyek kereta cepat Jakarta-Bandung? Berikut ulasannya:
Pemerintah pada awal pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung menargetkan proyek kelar pada 2019. Tapi, hingga kini proyek belum juga selesai.
Perkembangan terbaru, pemerintah menargetkan proyek baru kelar pada 2022 mendatang.
Masalah kedua berkaitan dengan pendanaan. Perhitungan KAI selaku salah satu anggota konsorsium yang terlibat dalam proyek itu, Kereta Cepat Jakarta-Bandung butuh dana US$8 miliar atau Rp114,24 triliun.
Dana itu lebih besar jika dibandingkan dengan yang terdapat dalam proposal dari China saat menawarkan proyek itu ke Indonesia. Pasalnya, dalam proposal, China hanya menawarkan nilai investasi US$6,07 miliar atau sekitar Rp86,67 triliun (kurs Rp14.280 per dolar AS)
Kebutuhan dana proyek juga meningkat karena Indonesia belum menyetor modal awal senilai Rp4,3 triliun sampai 1 September lalu. Padahal, setoran itu seharusnya dilakukan sejak Desember 2020.
Jumlah itu belum termasuk estimasi tanggung jawab sponsor dalam membiayai pembengkakan biaya (cost overrun) sebesar Rp4,1 triliun. Untuk itu, KAI mengajukan penundaan setoran menjadi Mei 2021. Namun, hingga saat ini belum ada kejelasan dari konsorsium kontraktor High Speed Railway Contractors Consortium (HSRCC), baik terkait penundaan setoran maupun permintaan restrukturisasi kredit proyek.
Setelah proyek berjalan, tiba-tiba Menteri PUPR Basuki Hadimuljono mengungkapkan proyek mengabaikan aspek keselamatan. Pasalnya, proyek akan berdiri di lahan labil dan rawan yang rentan longsor, apalagi jika ingin dibangun untuk jembatan dan terowongan bawah tanah.
Tak hanya itu, menurutnya, desain proyek juga belum mengantongi sertifikasi dari Komisi Keamanan Jembatan dan Terowongan Jalan. Masalah lahan sempat dibenarkan oleh Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga belum lama ini.
"Ada masalah lahan dan adanya perubahan desain karena kondisi geografis dan geologis," ujar Arya.
Tapi, proyek ini tetap diupayakan berjalan dengan berbagai cara. Bahkan, ia mencatat progres akhir pelaksanaan proyek sudah hampir 80 persen, meski tak dirinci secara jelas.