Presiden Jokowi pernah berjanji proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung tak akan menggunakan dana APBN. Karena kebijakan itulah, pemerintahannya memilih proposal yang ditawarkan China.
Pasalnya, pemerintah menilai proposal yang diajukan China memberikan banyak keunggulan. Pertama, tawaran nilai proyek yang hanya US$5,5 miliar atau lebih murah dari Jepang yang menawarkan US$6,2 miliar.
Kedua, dalam proposal mereka, China tidak meminta adanya jaminan pemerintah maupun pembiayaan dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). China juga menjanjikan subsidi tarif dan cost overrun yang nanti menjadi tanggung jawab joint venture company.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tawaran berbeda dengan Jepang yang meminta ada jaminan pemerintah, dan risiko ditanggung pemerintah. Tapi, janji itu kemudian diralatJokowi. Melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 93 Tahun 2021 ia justru memutuskan akan memberikan suntikan dana negara ke proyek ini.
"Pendanaan lainnya dapat berupa pembiayaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dalam rangka menjaga keberlanjutan pelaksanaan Proyek Strategis Nasional dengan memperhatikan kapasitas dan kesinambungan fiskal," kata Jokowi dalam Pasal 4 ayat 2 Perpres 93/2021.
Direktur Utama KAI Didiek Hartantyo pernah memperkirakan kebutuhan dana yang bengkak berpotensi membebani keuangan negara. Potensi ini muncul dari hasil kajian konsultan independen.
"Apa yang akan terjadi dengan pola operasi kereta cepat ini apabila dibiarkan seperti ini? Kekhawatiran Bapak sekalian akan membebani keuangan negara, persis akan terjadi," kata Didiek.
Di sisi lain, Didiek menilai komunikasi antara Indonesia dan China kurang lancar karena pemimpin proyek, Wika, sejatinya merupakan perusahaan konstruksi, bukan perusahaan di bidang kereta api. Namun, membangun proyek kereta cepat.
"Selama ini komunikasi antara Indonesia dan China tidak smooth, sekarang bisa bayangkan lead proyek ini adalah Wijaya Karya, itu perusahaan konstruksi sekarang yang dibangun kereta api," tuturnya.
Tumpukan masalah ini kemudian membuat Jokowi mengubah kebijakannya. Mantan gubernur DKI Jakarta itu merombak konsorsium dan membentuk komite percepatan proyek.
Pembangunan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung berjalan serampangan. Itu salah satunya terjadi pada pembangunan pilar LRT yang dikerjakan oleh PT KCIC di KM 3 +800.
Kementerian PUPR mengatakan pembangunan pilar dilakukan tanpa izin dan berpotensi membahayakan keselamatan pengguna jalan.
Selain itu, PUPR juga menilai bahwa pengelolaan sistem drainase dari pengerjaan proyek tersebut buruk karena tidak dibangun sesuai kapasitas.
Akibat masalah itu, proyek telah menimbulkan genangan air pada Tol Jakarta-Cikampek dan kemacetan pada ruas jalan tol.
Karena itulah, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melalui Komite Keselamatan Konstruksi sempat menghentikan pelaksanaan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang dikerjakan PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC).
Penghentian dilakukan melalui penerbitan surat bernomor BK.03.03-Komite k2/25 yang dikeluarkan pada 27 Februari 2020
(uli/agt)