Properti terbagi atas dua jenis, pertama hunian tapak seperti perumahan hingga ruko. Kedua hunian vertikal yang dapat berupa rumah susun dan apartemen.
Baik Mike dan Andy mengatakan secara teknis KPR hunian tapak dan hunian vertikal memiliki kesamaan secara umum.
Namun Mike menyampaikan pemilik hunian tapak di akhir masa cicilan akan mendapat sertifikat hak milik tanah dan bangunannya. Sementara hunian vertikal hanya memiliki sertifikat hak guna bangunan dengan rentang waktu tertentu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Andy menambahkan bagi pemilik hunian tapak secara sosial memiliki tanggung jawab seperti iuran lingkungan. Namun bagi pemilik hunian vertikal terdapat biaya tambahan seperti tarif parkir bulanan. Selain itu, setiap bangunan seperti apartemen memiliki standar usia sekitar 30 tahun dan harus dirobohkan.
Andy mengatakan KPR syariah dapat diselenggarakan oleh perbankan syariah dengan mengikuti ketentuan syariat Islam. Bahkan pengembang yang membangun rumah tanpa melewati cicilan perbankan dapat dikategorikan syariah.
"Secara teknis KPR syariah seperti pengembang yang membangun rumah tanpa melibatkan perbankan. Dikatakan syariah karena tidak ingin terkena bunga perbankan, sehingga beberapa pengembang ada yang bekerja sama dengan bank syariah," ucap Andy.
Mike menyampaikan KPR syariah dapat digunakan oleh seluruh kalangan masyarakat dan tidak terbatas pada masyarakat muslim saja. Sebab ini merupakan transaksi ekonomi yang berlaku secara universal bagi banyak orang.
Ia menjelaskan KPR konvensional berlandaskan interest rate, sementara KPR syariah berlandaskan praktik jual beli.
"Jadi bank syariah diamanatkan oleh calon pembeli untuk membeli rumah. Dengan demikian, calon pengambil KPR syariah membeli rumah dari perbankan," kata Mike.
Nantinya perbankan akan mendapat keuntungan dari properti yang dijual dengan menaikkan sejumlah biaya.