RI Butuh Rp5.138,1 T untuk Kurangi Emisi Karbon pada 2030
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan Indonesia butuh pendanaan senilai US$365 miliar atau setara Rp5.138,1 triliun (kurs Rp14.077 per dolar AS) untuk mencapai target pengurangan emisi karbon 29 persen pada 2030. Target pengurangan karbon ini dilakukan sendiri oleh Indonesia tanpa bantuan negara lain.
Sementara, bila mendapat dukungan dari negara lain, pemerintah menargetkan pengurangan emisi karbon bisa mencapai 41 persen pada 2030. Estimasi kebutuhan dananya pun meningkat menjadi US$479 miliar atau Rp6.742,88 triliun.
"Kami mengkalkulasi berapa besar kita membutuhkan pendanaan untuk mengurangi emisi sesuai komitmen di Paris Agreement. Contohnya, untuk mengurangi 29 persen butuh US$365 miliar pembiayaan, sementara dengan target 41 persen membutuhkan lebih banyak lagi, US$479 miliar," ujar Ani, sapaan akrabnya di acara CNBC's Sustainable Future Forum: Providing Energy, Selasa (19/10).
Lihat Juga : |
Bendahara negara memastikan kebutuhan dana itu akan semakin meningkat karena Indonesia juga menargetkan emisi karbon nol persen pada 2060.
Kendati demikian, kebutuhan dana ini tidak bisa ditutupi sendiri oleh pemerintah, sehingga perlu instrumen pembiayaan kepada swasta agar ikut membiayai pengurangan emisi karbon ke depan.
"Transisi energi ke emisi karbon yang lebih rendah akan membutuhkan banyak investasi. Tidak hanya dari pemerintah, tapi kita bisa menggandeng filantropi dan swasta," ucapnya.
Ia mengatakan salah satu instrumen pendanaan yang sudah disiapkan pemerintah adalah surat utang untuk proyek-proyek hijau, termasuk transisi energi. Selain itu, pemerintah juga belum lama ini menerbitkan surat utang negara (SUN) atawa obligasi Sustainable Development Goals (SDGs).
Obligasi itu diterbitkan dengan nominal sebesar 500 juta euro Eropa. Penerbitan obligasi ini diklaim merupakan yang pertama di Asia. "Sehingga harapan kami, lembaga keuangan akan datang untuk berinvestasi," imbuhnya.
Lebih lanjut, Ani mengatakan pengurangan emisi karbon merupakan agenda yang penting bagi semua negara di dunia. Sebab, perubahan iklim akan memberi ancaman yang besar.
"Kita belajar dari pandemi ini, dan perubahan iklim akan menciptakan implikasi kehancuran yang sama bagi masyarakat dan juga ekonomi. Jadi, perlu mempersiapkan sedini mungkin, itu penting dan wajib," ungkapnya.
Selain mempertimbangkan ancaman perubahan iklim, mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu menilai transisi energi dibutuhkan untuk menjaga ketahanan dan keberlanjutan energi ke depan.
Pasalnya, ia melihat kebutuhan energi akan terus meningkat di berbagai negara dari waktu ke waktu.
Kendati begitu, transisi energi dan pengurangan emisi karbon diakuinya bukan hal yang mudah. Apalagi, saat ini dunia tengah dihadapkan pada permintaan energi yang meningkat tinggi dan menimbulkan krisis di beberapa negara.
"Jika kita lihat sekarang pada ekonomi yang menurun karena pandemi dan mulai pulih, ini jelas berimplikasi pada permintaan pada energi," tuturnya.