Namun, sukses itu bukan tanpa hambatan. Pada 1998 atau saat ekonomi Indonesia dihantam krisis moneter, Kalbe Farma sempat limbung.
Maklum, saat krisis, nilai tukar rupiah sempat melejit dari Rp3.000 ke level Rp15 ribu per dolar AS. Sebagai produsen obat yang sebagian besar bahan bakunya harus didatangkan dari luar negeri alias impor, tentunya itu semua memberikan beban berat bagi Kalbe Farma.
Biaya produksi obat Kalbe Farma naik berlipat-lipat. Sementara di sisi lain, Kalbe tidak mungkin menaikkan harga obat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pasalnya, kondisi masyarakat saat itu juga tertekan hebat oleh krisis ekonomi. Tak hanya dihadapkan pada peningkatan biaya produksi, Kalbe juga saat itu dihadapkan pada kenaikan jumlah utang akibat merosotnya nilai tukar rupiah, penurunan harga saham dan laba bersih.
Lihat Juga : |
Di tengah kondisi itu, para kreditur minta utang tetap dibayar. Atas masalah itu, Kalbe akhirnya mengundang 35 bank untuk meminta restrukturisasi utang.
Upaya itu berbuah manis. Bank menyetujui permohonan restrukturisasi utang yang diminta Kalbe.
Kalbe berhasil lolos dari tekanan krisis dan tumbuh besar seperti sekarang. Saat acara Tanoto Entrepreneurship Series pada Oktober 2015 lalu, Boenjamin mengatakan kesuksesan itu tak terlepas dari beberapa kunci.
Pertama, semangat pantang menyerah. Kedua, jaringan.
Lihat Juga : |
Ia mengatakan agar kita selalu kenal dengan orang sebanyak mungkin. Kenal dengan banyak orang akan menciptakan peluang.
Ketiga, pintar melihat peluang. Setelah ketemu, ia memastikan akan banyak masalah di situ.
Dan di situlah semua harus dihadapi. Kita tak boleh cepat menyerah. Keempat, kenali kekuatan dan kelemahan pesaing. Kelima, harus punya mimpi.
(bir)