Pemerintah lagi-lagi mengganti aturan perjalanan udara dari yang sebelumnya wajib RT-PCR menjadi cukup tes antigen. Pergantian kebijakan berlaku untuk pelaku perjalanan dari dan ke Pulau Jawa-Bali.
Dengan kebijakan ini, syarat perjalanan disamakan antara dari dan ke Pulau Jawa-Bali dan di luar itu. Padahal, baru sepekan lalu pemerintah mengubah syarat perjalanan dari antigen menjadi wajib PCR.
"Perjalanan akan ada perubahan yaitu wilayah Jawa-Bali, perjalanan udara tidak lagi harus pakai tes PCR, tapi cukup tes antigen. Sama dengan yang diberlakukan di wilayah luar Jawa non Bali," ujar Muhadjir dalam Konferensi Pers Evaluasi PPKM pada Senin (1/11) siang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lewat Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) Nomor 57 Tahun 2021, diatur penumpang pesawat, bis, kapal laut, dan kereta api boleh menggunakan tes antigen 1x24 jam bagi mereka yang sudah divaksin covid-19 dua kali.
Kebijakan itu bertolak belakang dengan apa yang disampaikan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan beberapa waktu lalu. Luhut menyatakan tes PCR bakal menjadi syarat wajib perjalanan di semua moda transportasi.
Kewajiban diterapkan guna mencegah lonjakan kasus covid-19 pada masa libur Natal dan tahun baru.
Wacana itu pun menimbulkan polemik. Sejumlah kalangan masyarakat memprotes keras wacana itu. Maklum harga PCR sepekan lalu masih di kisaran Rp495 ribu di Pulau Jawa-Bali dan Rp525 ribu di luar Jawa- Bali.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun pada akhirnya turun tangan meredakan polemik itu. Ia menginstruksikan agar harga tes PCR tidak boleh lebih dari Rp300 ribu atau turun hampir setengah harga.
Eksekutif CORE Indonesia Muhammad Faisal menyebut urusan wajib PCR atau cukup antigen sebagai syarat perjalanan memang bagai makan buah simalakama alias serba salah. Pasalnya, di satu sisi pemerintah berusaha mengendalikan kasus covid-19 agar tak meledak lagi.
Namun, di sisi lain kebanyakan pelaku perjalanan masih cukup sensitif dengan harga tes. Karena itu, Kalau tak hati-hati, bisa jadi sektor transportasi, wisata, dan turunannya seperti hotel dan restoran akan menjadi korban karena sepi pengunjung.
Menurut dia, idealnya pemerintah mewajibkan tes PCR dengan catatan harga tes bisa ditekan semurah mungkin. Bahkan kalau bisa, menyamai India yang di bawah Rp100 ribu.
Ia menilai harga PCR murah bisa menjadi solusi antisipasi lonjakan kasus covid tanpa bikin kantong masyarakat bolong.
Tak itu saja, ia mengatakan harga PCR murah juga menutup celah motivasi bisnis pengusaha mengambil cuan selangit untuk kebutuhan esensial tes kesehatan di era pandemi covid-19.
"Harapannya harga PCR diturunkan. Terlalu tinggi dibandingkan India. Ini rawan untuk dibisniskan oleh pihak yang berkepentingan yang mengambil kesempatan dari kondisi sekarang," katanya kepada CNNIndonesia.com, Senin (1/11).
Faisal menduga pemerintah kembali menerapkan tes antigen sebagai syarat perjalanan karena tingkat vaksinasi covid-19 sudah membaik. Selain itu, kebijakan ditempuh karena kasus positif covid kian melandai di bawah 1.000 kasus per hari.
Namun, ia mengingatkan pemerintah kalau ancaman ledakan kasus covid-19 masih mengintai dengan momen liburan natal dan tahun baru di depan mata. Jangan sampai angka covid-19 yang sudah terkendali saat ini kembali melonjak akibat pelonggaran kebijakan yang tak diikuti dengan pengawasan yang ketat.
Dia menekankan agar pemerintah mengetatkan pengawasan mobilitas masyarakat di luar jalur moda transportasi udara. Dari kacamata Faisal, risiko penularan dari transportasi darat dan laut juga sama tingginya.
Bahkan, bila melihat pelajaran dari gelombang kedua, pemerintah banyak kecolongan oleh pemudik yang pulang dari 'jalan tikus' di darat.
Maka dari itu, ia mengusulkan agar syarat perjalanan yang sama juga diterapkan di moda transportasi darat dan juga laut.
"Di darat jauh lebih susah dikontrol dari pada udara. Karena pesawat itu lebih eksklusif ruang geraknya. Tapi di darat banyak jalur tikus yang tidak bisa dipantau oleh aparat," kata dia.
Pengamat Penerbangan Gatot Raharjo mengatakan carut-marut kebijakan syarat perjalanan bukan soal persoalan harga. Itu juga terkait inkonsistensi dan minimnya transparansi serta kejelasan pemerintah.
Rendahnya ketegasan pemerintah, menurut dia, membuat masyarakat dan maskapai jadi bingung dan merugi.
Ia mengatakan harusnya aturan perjalanan jelas dan mudah dipahami masyarakat dan operator perjalanan. Misal, bila dalam kondisi tingkat positif sekian maka aturan yang diterapkan adalah wajib PCR. Namun bila kondisi berubah maka aturan lain yang sudah ditetapkan sebelumnya menjadi acuan.
Kebijakan plin-plan seperti ini, sambungnya, malah membuat penumpang membatalkan perjalanan karena tingginya ketidakpastian dan membengkaknya biaya yang tak diantisipasi.
"Sebenarnya masalahnya itu bukan pada tes PCR atau antigennya. Tapi, pada transparansi, kejelasan dan ketegasan aturan dari pemerintah itu. Jadi kesannya tidak saling jalan sendiri-sendiri yang malah membingungkan dan merugikan maskapai dan penumpang," papar dia.
Gatot menilai harga jadi urusan nomor dua karena toh kebanyakan perjalanan saat ini masih didominasi oleh perjalanan bisnis atau dinas PNS yang dibiayai oleh kantor atau negara.
Namun, bila harga tes kesehatan bisa murah, ia menilai tingkat penumpang tujuan wisata pun bakal naik. Menurut dia, persoalan harga PCR sebetulnya bisa disiasati dengan kerja sama antara RS dengan maskapai.
Tengok saja Lion Air Group yang sudah melakukan dari jauh-jauh hari. Ia menyebut terbukti harga PCR/antigen Lion Air Group bisa murah. Saat ini saja, Lion Group bisa membanderol harga PCR Rp195 ribu, jauh lebih murah dari harga rekomendasi pemerintah.
"Atau bisa juga PCR dan tiket dijadikan satu, seperti tiket dengan PSC bandara, tidak banyak yang protes walaupun PSC (passenger service charge) naik harga," kata dia.